Tuesday, December 23, 2008

Saya dan Partai GOLKAR: Catatan untuk Komunitas Ciputat

Rasanya baru sekarang ditanyakan oleh teman di Ciputat tentang keterlibatan saya di partai Golkar. Kenapa kawan-kawan saya tidak mempertanyakan tentang aktivitas saya di partai warisan orde baru ini? Ada dua hal. Pertama, mungkin mereka sepenuhnya mendukung komitmen saya sehingga tidak perlu lagi mempertanyakan. Mereka sangat mafhum dengan pilihan politik yang saya ambil dengan berbagai alasan. Kedua, boleh jadi mungkin mereka tidak peduli. Namun saya sangat senang sekali jika Farhan mempertanyakan alasan saya terlibat dalam partai Golkar dan motivasi saya maju menjadi calon anggota DPR RI.

Kawan-kawan komunitas Ciputat, dahulu saya termasuk diantara mahasiswa Ciputat yang kritis bersama Abdulrahman 'Imam Mahdi' Eden, Ray Rangkuti, Teh Nong, Sirojuddin Abbas, Anik, Piet, Verry Muchlis, Muhibuddin, dan lainya. Bukan hanya kebijakan orde baru yang tidak luput dari kritik kita, tetapi berbagai kebijakan internal kampus pun selau kita kritik. Berbagai kajian kita laksanakan pada saat itu, disamping untuk memperkuat kapasitas intelektual kita, juga bagian untuk mencari basis argumentasi menyikapi berbagai kebijakan sosial politik pada saat itu. Beragam jaringan mahasiswapun kita bangun pada saat itu, dari mulai PIJAR, ALDERA, kawan-kawan gerakan mahasiswa di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan lain-lain. Intinya adalah bahwa kita sangat kritis terhadap politik orde baru yang memang dibangun diatas sendi-sendi otoritarianisme dan Golkar merupakan partai politik yang bertanggungjawab terhadap bangunan politik itu.

Kak Dien Syamsuddin saat itu masuk Golkar dan termasuk salah satu elit yang cukup berpengaruh. Itupun tidak lepas dari kritik kita, khususnya saya diberbagai forum diskusi di Ciputat. Alasan Kak Dien yang saat itu baru pulang dari Amerika masuk Golkar yaitu politik alokatif. Alasan ini selalu disampaikan berulang-ulang diberbagai forum di Ciputat. Ya alasan itu hampir sama dengan apa yang Farhan katakan, berjuang dari dalam. Namun, kitapun juga skeptis dengan alasan itu. Bagaimana mungkin bisa mempengaruhi politik orde baru yang sangat kuat hegemoninya. Sederhananya, alih-alih mempengaruhi, namun justru dipengaruhi.

Untunglah, gerakan mahasiswa 98 pada saat itu mampu mendobrak otoritarianisme dan hegemoni orde baru, dimana mahasiswa Ciputat menjadi salah satu elemen paling depan menduduki gedung DPR dengan dipimpin oleh Ray Rangkuti, Muhib, Saya, Very, Jay, Mixil, Piet, Anik, Burhan dll (saya & very waktu jadi tim materi yang mempersiapkan berbagai pernyataan sikap dalam setiap demontrasinya). Gerakan 98 telah membuka kebebasan politik. 5 Paket UU Politik (UU Partai Politik, ORMAS dll) yang selama ini menjadi alat hegemoni kekuasaan politik telah diganti menjadi UU politik yang lebih demokratis.

Melihat Golkar saat ini atau era reformasi dengan pada masa orde baru sangatlah berbeda. Pada masa orde baru, Golkar menjadi tunggangan kekuasaan Soeharto untuk melegitimasi kekuasaannya. Golkar bisa memenangkan pertarungan politik selama orde baru karena Pemilu yang tidak fair. Golkar menang karena didukung oleh kekuatan yang seharusnya tidak terlibat dalam pemerintahan demokratis, seperti militer dan birokrasi.

Namun era reformasi situasi politik sama sekali berubah. Partai Golkar sama dengan partai-partai lainnya di Indonesia. Tidak ada keistimewaan politik antara satu partai dengan partai lainnya dalam konteks kekuasaan. Golkar tidak lagi didukung oleh militer dan kekuasaan birokrasi. Istilah "berjuang dari dalam" sungguh sangat tidak relevan lagi. Karena masing-masing partai besar di Indonesia sudah pernah merasakan "dalamnya dan nikmatnya" kekuasaan setelah orde baru. Aliansi poros tengah (PKB, PAN Amien Rais, PPP dll) pernah berhasil menjadikan Gus Dur jadi presiden; PDI-P berhasil menjadikan Megawati sebagai Presiden. Partai barupun, yaitu Partai Demokrat berhasil mengusung SBY menjadi presiden.

Apa yang ingin saya katakan? Bahwa demokrasi yang hari ini kita jalankan meniscayakan semua orang untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif dalam politik tanpa harus ada tekanan, intimidasi, bebas untuk memilih dan dipilih. Golkar menjadi bagian dari partai politik yang dipilih itu. Pertanyaannya kenapa pilihan saya adalah partai Golkar? Kenapa tidak ke partai lainya.

Pertama, jujur saya katakan bahwa kesempatan pertama saya setelah lulus dari kuliah lebih banyak berinterikasi dengan para elit partai Golkar. Kesempatan saya untuk berkiprah lebih besar justru banyak difasilitasi oleh para elit Golkar. Kedua, partai Golkar lebih memiliki kesamaan secara ideologis-politis dengan saya. Hal ini bisa dilihat dari visi, misi dan platform partai, para aktivisnya sekarang ini berkiprah. Partai Golkar tidak menjadikan agama sebagai dasar platform perjuangan, apalagi menjual-jual agama. Partai Golkar tidak berniat sama sekali menjadikan agama sebagai basis ideologis kehidupan bernegara. Golkar memiliki kesamaan pandangan politik dengan saya dalam hal relasi antara agama-negara.

Ketiga, partai Golkar merupakan partai yang pengelolaan konflik politiknya lebih modern dan modern, dibanding dengan partai-partai lain. Pengelolaan konflik antar faksi di Golkar tertata dalam permainan politik yang mengasyikan. Fragmentasi antar berbagai kepentingan dimanage dengan dasar kedewasaan politik. Partai Golkar tidak tertumpu pada sumbu kekuasaan yang kharismatis-deterministik. Keempat, bagi saya, masuk dalam partai sebesar Golkar justru memungkinkan bagi akselarasi mobilitas vertikal saya dalam panggung kekuasaan. Bukankah tujuan berpolitik adalah sarana untuk meraih kekuasaan yang lebih besar? Dengan begitu, Kiprah politik dalam lingkup yang lebih besar juga dengan sendirinya memungkinkan bagi aktualisasi dari idealisme yang lebih besar pula.

Sekarang saya diberikan kesempatan untuk bersaing meraih kursi di DPR RI di daerah pemilihan Pandeglang Lebak dengan nomor urut 2. Tentu kesempatan itu harus saya pergunakan sebaik-baiknya untuk mendapatkan kursi di parlemen. Apa yang selalu saya sampaikan dalam berbagai kesempatan kampanye saya yang hingga saat ini terus saya lakukan di daerah.

Pertama, kedua kabupaten dapil saya merupakan daerah di Banten yang masih tertinggal dibandingkan dengan kab/kota lainnya di Banten. Pendidikan, peningkatan ekonomi dan infrastruktur menjadi masalah yang dihadapi daerah ini. Saya ingin menjadi wakil rakyat yang dapat memperjuangkan masalah tersebut melalu wewenang yang dimiliki anggota parlemen di DPR RI melalui peningkatan budget untuk hal tersebut.

Kedua, usaha saya untuk meraih dukungan masyarakat juga sebagai upaya untuk pendidikan politik untuk masyarakat di kedua daerah tersebut Terus terang sejauh pemantauan dan hasil terjun ke kampung-kampung, Pemilu merupakan ajang untuk mempertontonkan modal dan kekuasaan kepada masyarakat. Sangat memprihatinkan. Masyarakat tidak dibuat menjadi masyarakat yang cerdas.

Semoga Pemilu 2009 menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas.

Mohon doa dan dukungannya..

Thursday, October 23, 2008

Tb Ace Hasan Syadzily: Santri yang Merakyat

Jiwa berorganisasi yang kuat dalam diri Tb Ace Hasan Syadzily akhirnya menuntun pria kelahiran Labuan, Pandeglang, Banten, 19 September 1976, ini masuk dalam kancah perpolitikan nasional. Apalagi segudang pengalamannya di sejumlah organisasi kemahasiswaan dan LSM semakin menambah keyakinan bahwa politik adalah jalan hidupnya.

"Adanya kepercayaan yang diberikan kepada generasi muda, menunjukkan bahwa Partai Golkar memiliki komitmen terhadap regenerasi dan sirkulasi kepemimpinan politik," kata politisi muda yang berjiwa santri ini tentang motivasinya bergabung dengan partai politik.

Atas dasar itulah, lulusan Pascasarjana (S-2) pada program Ilmu Antropologi (FISIP UI) ini berniat ikut berpartisipasi untuk menyejahterakan masyarakat Banten dengan menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari daerah pemilihan (dapil) Banten I pada Pemilu 2009.

"Kalau tanpa dukungan dan restu masyarakat Banten, terutama para ulama, kiai, dan tokoh masyarakat, niat saya untuk mengemban amanat rakyat, saya kira tidak akan punya arti apa-apa. Sebab, saat ini kekuasaan ada di tangan rakyat" kata mantan Presiden BEM IAIN Syarif Hidayatullah (1998) yang pernah juga diundang oleh Deplu AS untuk mengikuti Dialogue Project and Exchange Program for Youth Islamic Leaders, sebuah program pertukaran para pemimpin muda Islam yang difasilitasi Ohio University, Attens, AS.

Anggota Pokja Hubungan Luar Negeri dan Pertahanan Keamanan DPP Partai Golkar ini bertekad bersama masyarakat Banten meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan program pemberdayaan ekonomi rakyat dengan fokus di bidang pertanian yang modern dan berbasis rakyat serta meningkatkan sumber daya manusia dengan fokus pada dunia pendidikan, terutama pendidikan umat. Untuk merealisasikan dua misi utama tersebut, ia menilai diperlukan dukungan politik dari berbagai pihak. (M Kardeni)

Suara Karya. Rabu, 24 September 2008

Artis, Tokoh Lokal, atau Wajah Lama di Banten I

DI daerah pemilihan Banten I, 38 parpol peserta pemilu memperebutkan sekitar 1,5 juta suara pemilih yang tersebar di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang untuk 6 kursi DPR.

Daerah pemilihan Banten I menjadi arena pertarungan sejumlah artis, tokoh intelektual, dan tokoh lokal yang diajukan sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR oleh partai politik.

Ada perbedaan daerah pemilihan bila dibandingkan dengan Pemilu 2004. Pada waktu itu, Provinsi Banten terbagi menjadi dua daerah pemilihan. Banten 1 yang meliputi Serang, Pandeglang, dan Lebak memperebutkan 11 kursi. Sedangkan pada Pemilu 2009, Banten terbagi menjadi tiga daerah pemilihan.

PDI Perjuangan mengandalkan pelawak TB Dedi Suwandi Gumelar atau yang akrab dipanggil Miing di nomor urut 1. Sosok artis juga dijagokan Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengajukan penyanyi Ahmad Zulfikar Fawzi yang lebih dikenal dengan nama Ikang Fawzi di nomor urut 1. Partai Demokrat menempatkan artis sinetron Jane Shalimar di nomor urut 6.

Penempatan artis tidak diikuti Partai Golkar di daerah itu. Partai berlambang beringin itu menjagokan tokoh lokal dan tokoh intelektual sebagai caleg. Di daerah tersebut, Golkar mengusung Ketua DPD Golkar Provinsi Banten Mamat Rahayu Abdullah di nomor urut 1. Mamat sudah teruji pada Pemilu 2004 dengan berhasil menjadi anggota DPR dari daerah Banten 1. Golkar juga mengajukan Ketua DPD Golkar Kabupaten Lebak Herry Djuhaeri sebagai caleg nomor urut 4.

Selain tokoh lokal, Golkar juga mengajukan peneliti Indonesian Institute for Civil Society (Incis) Tubagus Ace Hasan Syadzily sebagai tokoh intelektual dengan nomor urut 2.

Staf ahli Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Entjeng Shobirin maju sebagai caleg dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan nomor urut 2. Partai berlambang Kabah itu juga menjagokan Bupati Pandeglang Achmad Dimyati Natakusuma di nomor urut 6.

Sejumlah wajah lama yang sudah menjadi anggota DPR juga masih diajukan sebagai caleg dari daerah pemilihan itu.

Ikang Fawzi berkeyakinan bisa meraup suara signifikan. Sebab, ia sudah berkeliling ke daerah untuk menghibur masyarakat. "Saya mendatangi masyarakat ke desa-desa sambil menghibur dengan gitar. Rakyat kan sudah susah, jadi mereka harus dihibur. Ini bentuk kepedulian saya kepada masyarakat sebagai artis, politisi, sekaligus putra daerah," katanya di Jakarta, kemarin.

Ikang juga sudah melakukan kalkulasi politik dan mempelajari peta politik di Banten I. "Setiap parpol punya pemikiran dan strategi. Saya putra daerah nomor 1 dari PAN. Saudara saya di sana banyak. Saya melakukan pola yang berbeda dengan parpol lain. Saya memperkuat hubungan interpersonal," katanya.

Sedangkan mengenai kehadiran Miing, menurut dia, tidak masalah. "Saya akan bertarung dengan artis lain di sana seperti Mas Miing. Tapi kami akan bertarung sehat, karena selama ini sesama artis memiliki hubungan baik," katanya.

Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Rully Chairul Azwar menjelaskan partainya lebih memilih kader dan intelektual sebagai caleg di Banten I. Menurutnya, Golkar sudah cukup dikenal, jadi tidak perlu menggunakan figur terkenal seperti artis.
"Kalau mengambil figur dari luar, berarti partai gagal melakukan kaderisasi. Kami yakin mempertahankan bahkan menambah perolehan kursi dengan menempatkan kader senior yang memiliki kedekatan dengan Banten I seperti Mamat Rahayu," katanya.
Sementara itu, Entjeng Shobirin mengaku tidak terlalu ngotot dalam berkampanye. Pasalnya, PPP tidak menerapkan sistem pemeringkatan perolehan suara dalam penentuan caleg terpilih.

"Karena masih pakai sistem nomor urut, tidak usah ngoyo karena nomor urut teratas yang menikmati. Kalau sistem suara terbanyak, orang harus bekerja keras untuk menguji akseptabilitas dirinya di masyarakat," katanya.(P-1)

Rabu, 15 Oktober 2008. Media Indonesia
Penulis Kennorton Hutasoit

SUARA TERBANYAK DAN KETERWAKILAN RAKYAT

Kebijakan suara terbanyak dalam pemilihan umum (Pemilu) legislatif 2009 secara resmi diterapkan oleh 3 partai politik, yaitu Partai Golongan Karya (Partai Golkar), Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN). Kebijakan ini tentu dipahami dan ditanggapi secara beragam, baik oleh internal ketiga partai tersebut maupun kalangan eksternal partai.

Dari sisi legal, kebijakan ini memang memiliki sisi kelemahan karena UU tentang Pemilu No 10 tahun 2008 secara tegas menyebutkan bahwa calon legislatif akan mendapatkan kursi jika mendapatkan suara sekurang-kurangnya 30 % dari jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP). Pasal 214 ayat (a) menyatakan “calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP”.

Untuk menutupi titik kelemahan tersebut, masing-masing partai telah mensiasatinya dengan kebijakan internal. Misalnya, Partai Golkar menerapkan aturan bahwa semua Calon Anggota Legislatif harus menandatangani surat kesediaan pengunduran diri jika Caleg tidak memperoleh suara terbanyak sekalipun berada pada nomor urut paling atas. Apabila tidak bersedia, maka yang bersangkutan tidak boleh dicalon oleh partai. Secara legalitas, menurut Ketua Umum DPP Partai GOLKAR, HM Jusuf Kalla, kebijakan tersebut tidaklah menyalahi ketentuan yang berlaku. Kebijakan tersebut telah dikonsultasikan dengan KPU Pusat.

Saya tidak ingin berpolemik pada aspek hukum, karena DPP Partai Golkar sudah mempertimbangkan secara matang-matang aspek legalitasnya. Hal ini semakin diperkuat dalam hasil Rapimnas 2008 pekan lalu. Saya ingin mengurai lebih jauh relevansi suara terbanyak dalam kerangka membangun demokrasi yang lebih berkualitas di Indonesia.

Demokrasi melalui pemilihan umum, sejatinya merupakan mekanisme untuk mecari pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang bertanggungjawab (accountable), memiliki akar yang kuat dan dekat dengan rakyat. Rakyat sesungguhnya menjadi menjadi subyek yang utama dalam menentukan para wakilnya. Kerena itu, rakyat harus mengetahui lebih komprehensif tentang orang-orang yang akan memperjuangkan aspirasinya di parlemen di berbagai tingkatan. Masyarakat harus tahu secara mendalam track record, latar belakang, kemampuan dan kapasitas para wakilnya nanti. Rakyat tidak diberikan suguhan seperti ”kucing dalam karung”, demikian kata peribahasa.

Dengan demikian, para calon anggota legislatif dituntut untuk lebih banyak turun mengunjungi rakyat, berdialog secara intensif, mendengarkan keluhan dan harapan rakyat serta menawarkan program-program yang ditawarkan baik program Partai maupun program individu yang ingin direalisasikan di daerah tersebut untuk mencari dukungan dari masyarakat pemilih. Dengan begitu, para calon wakil rakyat lebih memiliki pertanggungjawaban publik.

Bagi partai politik, kebijakan ini tentu akan menggerakkan semua kadernya untuk memiliki harapan (hope) mendapatkan ”kursi” tanpa melihat nomor urut. Nomor ”urut paling bawah” memiliki keberpeluangan (probability) yang sama dengan nomor ”urut paling atas”. Pengalaman beberapa pemilu yang lalu, nomor urut paling atas merasa ”di atas angin” sehingga terdorong untuk tidak bekerja secara maksimal untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Demikian pula dengan nomor urut paling bawah, jika menerapkan nomor urut, akan bekerja tidak maksimal pula karena dianggap sebagai ”caleg pelengkap penderita” sehingga tidak punya harapan untuk mendapatkan kursi.

Ada kritik yang disampaikan bahwa dengan suara terbanyak memungkinkan bagi tokoh-tokoh populis, seperti artis, akan lebih berpeluang menang. Tentu asumsi itu bisa jadi salah karena menganggap masyarakat kita masih melihat hanya an sich aspek popularitas. Masyarakat sesungguhnya memiliki preferensi sendiri untuk menentukan pilihannya. Masyarakat kita sudah memiliki kecerdasan dan rasionalitas untuk memilih mana yang terbaik untuk menjadi wakilnya di parlemen. Dengan model ini pula partai politik dituntut untuk menawarkan calon-calon yang terbaik. Calon legislatif yang memiliki integritas, kapabilitas, kapasitas dan dekat dengan rakyat.

Dibalik kebijakan ini, secara diam-diam, oligarki elit partai politik akan mengalami degradasi. Pengurus partai tidak lagi memiliki privalge dibandingkan dengan kader partai lainnya. Partai politik dituntut, melalui kadernya, untuk lebih bekerja keras dan lebih dekat dengan rakyat. Disamping itu, tidak ada lagi keistimewaan bagi nomor paling atas untuk memberikan ”setoran” paling besar kepada (pimpinan) partai politik seperti praktek yang terjadi selama ini. Semua potensi yang dimiliki kader partai akan didayagunakan untuk pemenangan dirinya.

Pada masa yang akan datang, kebijakan ini sedikit banyak akan mempengaruhi sistem kehidupan kepartaian di Indonesia. Partai politik dituntut untuk melakukan pembenahan rekruitmen kader yang berkualitas dan mengakar di masyarakat. Partai tidak akan sembarangan menawarkan calon-calon anggota legislatif yang tidak memiliki akseptabilitas. Bagi anggota legislatif yang akan terpilih nanti tidak akan semena-mena meninggalkan konstituennya dan melupakan orang yang telah memilihnya. Kalau anggota DPR/DPRD nanti melupakan daerah pemilihan, ia bagaikan ”kacang lupa dengan kulitnya” dan jika ingin mencalonkan kembali, maka ia tidak akan dipilih lagi oleh rakyat.

Kita berharap kualitas demokrasi di Indonesia mengarah pada demokrasi lebih substantif, bukan sekedar prosedural. Pemilihan umum yang disertai mekanisme suara terbanyak lebih menjamin untuk menghasilkan wakil-wakil rakyat yang lebih amanah, dekat dengan rakyat dan dapat memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan wakil rakyat yang sama sekali tidak mengetahui daerah yang diwakilinya. Wallahu ’alam bi shawab.

Friday, October 17, 2008

Rapimnas dan Capres Partai GOLKAR

Partai Golkar menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) tanggal 17-19 Oktober 2008. Beberapa agenda penting dibahas dalam hajatan tahunan Partai GOLKAR ini, diantaranya konsolidasi internal organisasi untuk memantapkan mesin partai menjelang Pemilu 2009, strategi pemenangan Pemilu, pernyataan politik partai menanggapi kondisi politik nasional 2008, dan silaturahmi petinggi partai se-Indonesia.

Rapimnas kali ini banyak menjadi sorotan publik. Bukan saja kader Partai Golkar, tetapi seluruh publik politik di Indonesia. Wajar jika Rapimnas ini menjadi sorotan publik. Sebagai partai besar di Indonesia, Golkar memiliki pengaruh bagi perjalanan kehidupan politik di Indonesia, apalagi menjelang pesta demokrasi 2009 nanti.

Yang paling menjadi sorotan masyarakat adalah masalah calon presiden dan wakil presiden dari Partai Golkar. Secara resmi, seperti diberitakan diberbagai media, pembahasan Capres & Cawapres dalam Rapimnas ini memang tidak menjadi salah satu pembahasan. Sekalipun polemik di media massa tentang siapa calon-calon Presiden dari partai Golkar menjadi perdebatan serius.

Menanggapi isu Capres dari Partai Golkar yang menghangatkan Rapimnas ini, di kalangan internal partai ditanggapi secara berbeda. Pertama, kalangan yang menginginkan agar Golkar membicarakannya dalam forum tahunan ini. Sekalipun tidak menyebut nama-nama Capres, mereka berpendapat bahwa mekanisme rekruitmen Capres dan Cawapres seperti Konvensi 2004 yang lalu pada masa kepemipinan Akbar Tanjung seharusnya dibahas. Alasannya sederhana, penentapan Capres & Cawapres harus ditentukan sesegara mungkin seiring dengan semakin dekatnya Pemilu 2009. Partai Golkar lebih leluasa untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif pada bulan April 2009 nanti.

Hal ini terlihat dari manuver beberapa kader Partai Golkar yang menggelindingkan Capres dari Golkar dikemukakan oleh Fadel Muhammad, Ketua DPD Golkar Gorontalo, Yuddy Chrisnandy, Fungsionaris DPP Partai Golkar, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan ormas pendiri Golkar yaitu SOKSI menyebut nama Sultan Hamengkubowono X, MKGR menawarkan beberapa nama antara lain SBY, Jusuf Kalla, Agung Laksono, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Priyo Budi Santoso, dan Ormas Panca Karya yang didirikan (MDI, AMPI, Alhidayah, Satkar Ulama, HWK) menyodorkan nama Jusuf Kalla, Agung Laksono, Sultan Hamengkubowono X, Ginandjar Kartasasmita, dan Aburizal Bakrie.

Tentu keinginan dari para tokoh Partai Golkar dan Ormas pendukung Partai Golkar dengan mewacanakan nama-nama capres ini harus diapresiasi secara positif. Betapa tidak, sebagai partai besar, Golkar seharusnya mampu mempersiapkan kader terbaiknya untuk memimpin bangsa ini.

Kedua, elit Partai Golkar yang lain memandang bahwa penetapan Capres dan Cawapres Partai Golkar harus dikalkulasi secara matang-matang. Penetapan Capres dan Cawapres Partai Golkar harus juga mempertimbangkan seberapa besar kekuatan partai yang ditentukan oleh pemilu DPR/DPRD April 2009. Karena itu mereka berpendapat bahwa penetapan Capres dan Cawapres Partai Golkar ditentukan setelah pemilu legislatif dengan melihat seberapa besar kekuatan Partai Golkar dalam pemilu legislatif nanti.

Disamping itu, kalangan ini berpendapat bahwa Golkar jangan sampai keliru, bahkan salah pilih, dalam menentukan Capres dan Cawapres karena tergesa-gesa memilihnya. Bukankah dinamika politik di negeri ini selalu mengalami perubahan secara cepat? Jangan sampai dari sejak awal sudah menentukan Capres dan Cawapres, padahal kurang mendapat dukungan dari masyarakat.

Memang menentukan Capres dan Cawapres dari Partai Golkar bukan persolan yang mudah. Kebesaran partai politik belum tentu seiring dengan kebesaran figur-figur kader partai yang dimilikinya. Harus diakui, sekalipun terdapat banyak kader Partai Golkar yang mumpuni dan layak untuk memimpin bangsa ini, namun hal itu tidak dibarengi oleh dukungan penuh rakyat Indonesia. Lihat saja misalnya pengalaman Pilpres 2004 dimana Partai Golkar yang mengusung Wiranto-Gus Solah sebagai Capres-Cawapres ternyata mengalami kekalahan. Padahal secara matematis, sebagai partai pemenang pemilu 2004, Partai Golkar seharusnya mampu memenangkan Pilpres 2004.

Sebagai partai yang memiliki sistem yang telah mapan, alangkah lebih baiknya jika partai ini membuat mekanisme rekruitmen Capres dan Cawapres. Golkar sesungguhnya telah memiliki model yang baik seperti dalam mekanisme rekruitmen calon kepala daerah. Kita telah memiliki cara untuk mengukur seberapa besar kekuatan figur diterima atau tidak oleh rakyat melalui metode survei yang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan. Jika memang dalam survei tersebut, ternyata terdapat kader Partai Golkar yang layak dan mampu untuk bertanding dalam Pilpres 2009, maka kenapa Golkar menetapkan sebagai calon Presiden.

Namun, jika dalam survei tersebut kader Partai Golkar memiliki akseptabilitas dan elektabiltasnya rendah untuk menjadi capres, sudah seharusnya partai Golkar dengan legowo membidik wakil presiden. Saya teringat akan kaidah “Ma La Yudraku kulluhu La Yutraku kulluhu” (Jika kita tidak dapat mendapatkan semuanya, jangan ditinggalkan semuanya). Kalau tidak bisa mendapatkan RI-1, ya kenapa tidak RI-2. Bukankah politik adalah seni untuk meraih kekuasaan? Kalau tidak mampu untuk mendapatkan kekuasaan RI-1, kenapa tidak Golkar legowo mendapatkan kekuasaan RI-2? Yang terpenting adalah kekuasaan tersebut dipergunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat (li mashaalihul ibaad). Semoga Rapimnas Golkar menghasilkan manfaat bagi kebesaran partai dan rakyat Indonesia. Wallahu ’alam bi shawab.

Friday, June 13, 2008

Anggaran Daulat Rakyat

Dalam sistem demokrasi yang ideal, dituntut secara konsekwen penyelengaraan pemerintahan yang menjujung tinggi akuntabilitas, partisipasi, transparansi dan keterbukaan bagi rakyat. Alasannya sederhana. Karena sumber daya baik ekonomi, sosial dan politik yang dimiliki negara merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diserahkan kepada pemegang kuasa yakni, pemerintah dan legislatif. Dalam kerangka itu, rakyat memiliki hak untuk mengatur pengelolaan sumber daya, terutama ekonomi, melalui mekanisme yang diatur dalam partisipasi politik masyarakat.

Dalam konteks politik anggaran, kita seringkali salah kaprah mendudukkan masalah ini. Anggaran Negara kerapkali dipahami sebagai anggaran untuk membiayai belanja pemerintah. Padahal sesungguhnya politik anggaran merupakan mekanisme keuangan Negara yang diatur dan dikelola oleh para pihak pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif) yang seharusnya dipergunakan secara maksmimal untuk kepentingan rakyat dan didayagunakan sepenuhnya untuk pembangunan masyarakat.

Konseksuensinya, politik anggaran seharusnya paling tidak didasarkan antara lain; Pertama, adanya partisipasi dan pelibatan masyarakat melalui proses dan mekanisme yang transparan dan penggunaannya mengharuskan adanya akuntabilitas publik, karena memang sumber anggaran itu berasal dari rakyat melalui pajak, retribusi dan hasil sumberdaya alam. Kedua, oleh karena itu, realisasinya untuk kepentingan rakyat.

Dalam prakteknya politik anggaran kita tidak lebih dari “bancakan” para pemegang otoritas politik. Anggaran pemerintahan kita tidak lebih dari penyerahan “upeti” rakyat kepada pemerintah dan penggunaannya diserahkan kepada kehendak pemerintah. Bahkan kadangkala pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak malu-malu mengklaim distribusi uang rakyat dikatakan berasal dari “kantong pribadinya” atau partainya dan dengan gagah diberikan oleh institusi atau individu yang bukan otoritasnya.

Yang lebih ironis adalah politik anggaran kita sebagian besar hanya untuk membiayai belanja pengawai. Biaya gaji pegawai tidak lebih besar dibanding pembangunan infrastruktur yang rusak dimana-mana. Bahkan biaya keseharian pejabat, dari mulai pembelian mobil dinas, biaya perjalanan, akomodasi, pemeliharaan rumah dinas hingga makan pejabat, ditanggung sepenuhnya oleh rakyat melalui APBD. Sementara, disana-sini pembangunan irigasi tersendat-sendat, kerusakan jalan terjadi disana-sini, sekolah tidak nyaman untuk menimba ilmu, dan lain-lain. Dan rakyat dituntut untuk membayar sekian rupiah untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai, membayar biaya pembangunan sekolah (sekalipun katanya SPP digratiskan), dan lain-lain.

Apakah politik anggaran kita masih diwarnai “daulat raja” atau “daulat rakyat”? Hanya masyarakat sendiri yang merasakan dan menjawabnya. Wallahu”alam Bi shawab.

Thursday, May 22, 2008

Misi Profetis Muhammad SAW

”Tidaklah Aku diutus ke muka bumi kecuali untuk menyempurnakan Akhlak” (Al-Hadits)

Kelahiran Nabi Muhammad SAW dalam tradisi masyarakat Islam diperingati dengan berbagai macam ritual. Peringatan kelahiran Rasulullah SAW merupakan cerminan dari kecintaan dan penghormatan umat Islam kepada sosok dan figur manusia yang paling sempurna (Insan al-Kamil). Ajaran-ajaran dan napak tilas perjalanan Rasulullah menjadi pedoman bagi umat Islam dan memepengaruhi kehidupan manusia hingga saat ini. Hal itu bukan saja diakui oleh umat Islam sendiri, namun juga oleh seluruh umat yang lain.

Apa yang sesungguhnya menjadi misi utama kenabian Muhammad SAW? Jawabanya adalah menyempurnakan ahklak manusia (li utamima makarim al-akhlaq), demikian dalam sebuah hadits disebutkan. Dalam bahasa sederhana kehadiran Rasullah SAW diutus untuk memperbaiki moralitas publik. Kenapa penekanan misi profetik Muhammad lebih ditekankan kepada aspek penyempurnaan akhlak dan moralitas manusia? Tentu saja jawabanya tidak sederhana. Perlu dijelaskan keberadaan Nabi Muhammad SAW dari prespektif historis dan dikaitkan dengan kehidupan sosial, politik dan budaya masyarakat arab pada saat itu. Menurut para sejarawan agama, diutusnya seorang Nabi oleh Allah SWT selalu memiliki kontekstualisasi dan keterkaitan dengan situasi sosiologis-antropologis dimana seorang Nabi atau Rasul itu diturunkan.

Dalam tarikh (sejarah Islam) masyarakat Arab pada saat Muhammad dilahirkan dikenal dengan masyarakat Jahiliyyah. Dalam bahasa arab, jahil artinya bodoh. Artinya pula secara epistimologis masyarakat Arab pada saat itu adalah masyarakat yang bodoh. Namun konsepsi tentang jahiliyyah pada masa itu tidaklah semata-mata bahwa masyarakat arab dipahami sebagai masyarakat yang tidak mengenal baca-tulis, karena peradaban material masyarakat pada saat itu dapat disejajarkan dengan peradaban maju lainnya, seperti Persia dan Romawi. Tradisi tulis menulis bangsa Arab pada masa itu melebihi kemajuan pada masanya. Ini bisa terlihat dari banyaknya penyair-penyair Arab par-exxelence yang diakui hingga saat ini, seperti Amrul Qais, al-Jahid dan lain-lain.

Konsepsi Jahiliyyah harus dimaknai sebagai cerminan masyarakat yang dipenuhi oleh situasi yang masyarakat patologis. Masyarakat yang mengalami dehumanisasi, degradasi moral dan diwarnai oleh disparitas ekonomi yang tajam sehingga menimbulkan ketidak-adilan sosial. Bukti sejarah itu terlihat dari kisah pembunuhan terhadap bayi perempuan yang tidak diinginkan dalam masyarakat yang partriakal, tidak adanya penghargaan terhadap perempuan, konflik antar suku yang ditandai dengan perang antar suku yang kerapkali mewarnai kehidupan sosial masa itu, adanya dominasi suku tertentu atas suku arab yang lain dan yang lebih penting adalah tidak adanya pegangan moral hidup yang dijadikan sebagai pedoman masyarakat yang tertib sosial.
Karen Amstrong, seorang biarawati yang pernah meneliti kehidupan Rasulullah saw secara obyektif menggambarkan tentang kehidupan Muhammad. Hasil penelitiannya dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul Muhammad, A Western Attempt To Understand Islam (Muhammad, Sebuah Upaya Barat Untuk Memahami Islam). Ketika Karen Amstrong bercerita tentang Muhammad saw, dia bercerita dengan penuh pembelaan. Ia membela kehormatan Rasulullah saw jauh lebih sengit daripada Muhammad Haykal di dalam bukunya “Hayâtu Muhammad”. (lihat Jalaluddin Rahmat, Muhammad Sang Reformis).
Dalam buku itu, Amstrong membela Rasulullah saw atas tuduhan yang negatif yang dari penilaian negatif kaum orientalis, atas Muhammad dan Islam sebagai agama perang. Salah satu pembelaannya yang menarik adalah bagian yang menjelaskan kegiatan politik Rasulullah saw. Banyak orang Barat yang keberatan tentang itu. Mereka mempersoalkan mengapa seorang nabi harus terlibat dalam kegiatan politik dan harus melakukan perang berulang-ulang sampai lebih dari 80 kali. Bukankah tugas seorang nabi itu hanyalah mengajarkan ibadah dan mendekati Allah swt. Mengapa seorang nabi mengikuti perang, menjadi panglima, dan menjadi presiden yang meng-atur negara?

Salah satu penilaian Amstrong tentang Rasulullah adalah bahwa misi Nabi Saw yang utama yaitu untuk memperbaiki moral masyarakat dan menegakkan sebuah sistem kemasyarakatan yang ditegakkan di atas keadilan yang jauh dari penindasan. Nabi ingin menciptakan suatu masyarakat yang penuh keadilan dan penuh kasih sayang.
Oleh karena itu, keterlibatan Muhammad dalam politik hanyalah sejauh menentang ketidakadilan dan kezaliman. Perhatian Rasulullah kepada politik, hanya dilakukan bila politik itu berkaitan dengan perjuangan untuk menegakkan tatanan masyarakat yang adil dan penuh kasih sayang. Karen Amstrong menggambarkan Rasulullah saw sebagai seorang politikus yang berkepentingan dengan politik hanya sepanjang politik itu membantunya untuk menegakkan keadilan.

Kang Jalal, panggilan akrab Jalaludin Rahmat, seorang cendikiawan Muslim Indonesia, mengatakan bahwa Rasulullah adalah seorang reformis. Apa reformasi yang dilakukan oleh Rasulullah saw? Reformasi Nabi ialah berupaya untuk menegakkan sebuah sistim masyarakat berdasarkan keadilan. Nabi tidak pernah berteriak-berteriak ingin mendirikan Negara Islam. Nabi tidak pernah bersabda, “Marilah kita berjuang mendirikan Negara Islam.” Bahkan ketika kepadanya diberikan kekuasaan untuk menjadi penguasa di Madinah, Nabi tidak menggunakan kekuasaan itu untuk mendirikan negara Islam. Nabi mendirikan negara Madinah dan beliau beri nama Yastrib. Madinah tidak didirikan sebagai Ibukota Negara Islam, beliau tidak memberikan nama Madînatul Islâm, tapi beliau memberikan nama Madînatul Munawwarah, kota yang dicerahi. Kota yang mendapatkan Al-Tanwir, pencerahan.

Spirit keadilan yang diajarkan Muhammad tidak saja ditujukkan bagi penganut Islam saja. Hal ini didasarkan atas ayat al-Quran, QS. Al-Maidah 8 berbunyi, “Janganlah kebencian kamu kepada satu kaum menye-babkan kamu tidak berbuat adil. Berbuat adillah, itu lebih dekat kepada ketakwaan.” Ayat itu pun menunjukkan bahwa kalau kita berjuang untuk politik, perjuangan kita tidak untuk merek-merek, label-label, partai-partai, atau negara Islam. Perjuangan kita adalah menegakkan keadilan. Reformasi pertama yang dilakukan Rasulullah saw, menurut Kang Jalal, adalah mengubah masyarakat yang berdasarkan penindasan kepada masyarakat yang berdasarkan keadilan. Salah satu unsur dari masyarakat yang berdasarkan keadilan adalah masyarakat yang tunduk kepada hukum. Semua orang tunduk kepada hukum, tidak ada orang yang bisa lepas dari ketentuan hukum.

Jejak langkah Rasulullah dalam menciptakan masyarakat yang humanis, egaliter dan tertib sosial (social order) ditunjukkan dengan sikapnya yang terbuka dan demokratis dalam membuat kesepakatan sosial (social contract). Lihat misalnya dalam pembuatan konstitusi Madinah (Mistaaq Madinah) yang dirumuskan dengan musyawarah bersama dengan orang Yahudi, Nashara, dan orang kafir yang tidak beragama. Kalau orang Yahudi diserang, orang lain akan membantu dan kalau orang Islam diserang, yang lain pun akan membantu. Madinah menjadi kota pluralistik yang dimiliki oleh berbagai agama.

Gambaran sekilas tentang napak tilas dan jejak langkah Rasulullah SAW, tentu masih memiliki relevansi dan kontekstual dengan kondisi umat manusia saat ini. Apa yang dicontohkan sosok beliau menjadi inspirasi bagi kita dalam kehidupan masyarakat. Yang lebih utama dari apa yang diajarkan beliau, adalah keharusan etika dan moral publik yang dijadikan sebagai spirit kita bersama dalam upaya transformasi masyarakat yang lebih baik. Semoga semangat nilai Muhammad ada dalam hati kita semua. Thala’al Badru alaina (telah datang sang bulan purnama, Muhammad, yang terus akan mencerahkan kita semua) Shaluu ala Muhammad!!!

(Tulisan ini dimuat di Harian "Suara Karya"