Friday, June 13, 2008

Anggaran Daulat Rakyat

Dalam sistem demokrasi yang ideal, dituntut secara konsekwen penyelengaraan pemerintahan yang menjujung tinggi akuntabilitas, partisipasi, transparansi dan keterbukaan bagi rakyat. Alasannya sederhana. Karena sumber daya baik ekonomi, sosial dan politik yang dimiliki negara merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diserahkan kepada pemegang kuasa yakni, pemerintah dan legislatif. Dalam kerangka itu, rakyat memiliki hak untuk mengatur pengelolaan sumber daya, terutama ekonomi, melalui mekanisme yang diatur dalam partisipasi politik masyarakat.

Dalam konteks politik anggaran, kita seringkali salah kaprah mendudukkan masalah ini. Anggaran Negara kerapkali dipahami sebagai anggaran untuk membiayai belanja pemerintah. Padahal sesungguhnya politik anggaran merupakan mekanisme keuangan Negara yang diatur dan dikelola oleh para pihak pengambil kebijakan (eksekutif dan legislatif) yang seharusnya dipergunakan secara maksmimal untuk kepentingan rakyat dan didayagunakan sepenuhnya untuk pembangunan masyarakat.

Konseksuensinya, politik anggaran seharusnya paling tidak didasarkan antara lain; Pertama, adanya partisipasi dan pelibatan masyarakat melalui proses dan mekanisme yang transparan dan penggunaannya mengharuskan adanya akuntabilitas publik, karena memang sumber anggaran itu berasal dari rakyat melalui pajak, retribusi dan hasil sumberdaya alam. Kedua, oleh karena itu, realisasinya untuk kepentingan rakyat.

Dalam prakteknya politik anggaran kita tidak lebih dari “bancakan” para pemegang otoritas politik. Anggaran pemerintahan kita tidak lebih dari penyerahan “upeti” rakyat kepada pemerintah dan penggunaannya diserahkan kepada kehendak pemerintah. Bahkan kadangkala pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak malu-malu mengklaim distribusi uang rakyat dikatakan berasal dari “kantong pribadinya” atau partainya dan dengan gagah diberikan oleh institusi atau individu yang bukan otoritasnya.

Yang lebih ironis adalah politik anggaran kita sebagian besar hanya untuk membiayai belanja pengawai. Biaya gaji pegawai tidak lebih besar dibanding pembangunan infrastruktur yang rusak dimana-mana. Bahkan biaya keseharian pejabat, dari mulai pembelian mobil dinas, biaya perjalanan, akomodasi, pemeliharaan rumah dinas hingga makan pejabat, ditanggung sepenuhnya oleh rakyat melalui APBD. Sementara, disana-sini pembangunan irigasi tersendat-sendat, kerusakan jalan terjadi disana-sini, sekolah tidak nyaman untuk menimba ilmu, dan lain-lain. Dan rakyat dituntut untuk membayar sekian rupiah untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai, membayar biaya pembangunan sekolah (sekalipun katanya SPP digratiskan), dan lain-lain.

Apakah politik anggaran kita masih diwarnai “daulat raja” atau “daulat rakyat”? Hanya masyarakat sendiri yang merasakan dan menjawabnya. Wallahu”alam Bi shawab.