Thursday, May 19, 2011

Hati-hati Lingkungan Sekitar Rumah, Terorisme Mengintai!!

Harian Kompas, Rabu 27 Apr 2011

JAKARTA, KOMPAS---- Perkembangan ideologi terorisme atas nama agama saat ini bisa menyusupi siapa saja, bahkan orang-orang yang sebenarnya punya bekal pendidikan agama yang cukup. Karena itu, masyarakat diminta lebih mewaspadai kemungkinan perkembangan paham ekstrem itu pada teman atau keluarga.

Harapan tersebut dikemukakan mantan Presiden Mahasiswa IAIN (sekarang Universitas Islam Negeri) Jakarta Ace Hasan Syadzily dan Direktur Program Yayasan Paras Nanang Haroni di Jakarta, Senin (25/4). Keduanya pernah berteman baik dengan Pepi Fernando, tersangka dalang bom di dekat Gereja Christ Cathedral, Serpong, dan sejumlah bom buku di Jakarta. Pepi ditangkap kepolisian di Aceh beberapa waktu lalu.

Pepi merupakan sarjana Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, lulusan tahun 2002. Kabar bahwa dia menjadi salah satu dari 19 tersangka jaringan pelaku bom yang ditangkap polisi membuat teman-temannya kaget. Soalnya, saat mahasiswa, pemuda itu tak dikenal sebagai anggota kelompok garis keras.

Ace Hasan Syadzily pernah tinggal satu indekos dengan Pepi selama dua tahun di kawasan Ciputat, di dekat kampus IAIN. Saat itu Pepi bukan termasuk aktivis mahasiswa atau kelompok studi yang tekun mendiskusikan soal agama. ”Dia itu mahasiswa slengean, suka pakai celana jeans, berkaus oblong, berambut agak panjang. Jauh dari kesan aktivis Islam garis keras,” katanya.

Setelah lama tidak bertemu, Ace mendengar bahwa pemahaman keislaman Pepi berubah. Itu terjadi setelah dia membuat film dokumenter tentang tsunami di Aceh dan bergaul dengan kelompok garis keras di Aceh. Beberapa hari lalu dikabarkan dia ditangkap sebagai tersangka teroris. ”Itu sangat mengagetkan,” ujar Ace.

Nanang Haroni mengenal dekat Pepi saat yang bersangkutan menjadi reporter Non-Stop dan kemudian Production House Otista. Kebetulan saat itu Nanang menjadi redaktur pada dua media tersebut. Nanang sempat jadi wakil keluarga saat Pepi menikah di Bekasi.

Setelah tinggal di Aceh, Pepi memang berubah. ”Tahun 2007 saya pernah berdiskusi semalaman dengan dia. Cara dia memahami Islam menjadi sangat keras, mirip kelompok Negara Islam Indonesia (NII). Sulit mengubah pikirannya menjadi lebih moderat,” tutur Nanang.

Belajar dari kasus Pepi yang menjadi tersangka teroris, Ace dan Nanang mengungkapkan, ideologi Islam ekstrem bisa menyelusup ke semua kalangan.(Juf/Kcm)

Wednesday, May 18, 2011

Jaminan Sosial untuk Semua

Tb Ace Hasan Syadzily
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran Bandung, Ketua Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor

Perdebatan tentang RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan isu yang menarik untuk dibahas. Pada hari Buruh Internasional 1 Mei 2011, sistem jaminan sosial merupakan isu yang dituntut oleh para buruh. Di DPR, pembahasan tentang RUU BPJS menjadi agenda legislasi nasional yang masih tarik-menarik pembahasannya dengan pemerintah.

Secara ideal, jaminan sosial ini merupakan salah satu perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jenis program jaminan sosial ini meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan jaminan sosial bagi masyarakat.

Kalau kita lihat konstitusi, sistem jaminan sosial nasional merupakan amanat yang harus dipenuhi negara. Dalam UUD 1945 Pasal 28 ayat (3) disebutkan, "Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat." Pasal 34 ayat (2) menyebutkan, "Negara mengembangkan sistem atas jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan." Jaminan sosial ini diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2004.

Dengan demikian, penerima manfaat dari jaminan sosial ini bukan hanya para pekerja atau buruh, pegawai negeri, tentara, polisi dan pejabat, melainkan juga seluruh rakyat Indonesia, terutama kalangan yang tidak mampu. Justru yang seharusnya mendapatkan prioritas utama dalam jaminan sosial ini yang menurut konstitusi kita adalah "masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".

Jaminan sosial di Indonesia
Di Indonesia, penyelenggaraan sistem jaminan sosial saat ini belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Sistem jaminan sosial kita baru menerapkan mekanisme asuransi sosial dengan kepesertaannya menjangkau segmentasi masyarakat tertentu, yaitu pekerja formal (buruh) yang disediakan PT Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), pegawai negeri sipil oleh PT Askes (Asuransi Kesehatan Indonesia) yang cakupan perlindungannya meliputi jaminan atau asuransi kesehatan dan jaminan pensiun oleh PT Taspen (Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri), dan TNI yang dikelola PT Asabari (Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang yang cakupan perlindungannya meliputi jaminan pensiun dan kesehatan.

Sementara itu, untuk program bantuan sosial, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan program-program, di antaranya bantuan tunai langsung (BLT), bantuan sosial, bencana dan terakhir program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), sebuah program asuransi kesehatan yang dibiayai negara dan diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu. Namun, penyelenggaraan bantuan sosial ini belum memiliki payung hukum dan sistem kelembagaan yang kuat dan integral dalam penyelenggaraannya. Ditambah lagi program bantuan sosial ini tidak secara khusus diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2004 dan belum memiliki aturan perudang-undangan.

Dua model penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia ini belum sepenuhnya maksimal untuk menjamin bagi terpenuhinya hak-hak dasar warga negara. Sistem jaminan sosial yang jelas-jelas telah memiliki aturan hukum saja belum sepenuhnya optimal seperti para pekerja (buruh), apalagi rakyat miskin yang bekerja di sektor informal. Sebagai contoh, kalangan pekerja di sektor formal hanya menjamin keanggotaan sebanyak 8,5 juta buruh peserta aktif, padahal jumlah pekerja (buruh) yang bekerja di sektor formal berjumlah 29 juta. Berarti hanya 30 persen yang hanya terjangkau oleh jaminan asuransi sosial (Republika, 10/5/2011).

Bandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Secara persentase, kepesertaan asuransi sosial di sektor formal, 90 persen para pekerja telah menjadi peserta asuransi sosial. Di Malaysia, lembaga jaminan sosial Employee Provident Fund (EPF) telah menanggung sebanyak 12,5 juta pekerja, Singapura dengan institusi Central Provident Fund (CPF) terdiri dari 116 ribu pengusaha dan 1,8 juta pekerja, Thailand dengan lembaga jaminan Social Security Office (SSO)-nya terdiri dari 391.869 pengusaha dan 9,45 juta pekerja, dan Filipina dengan program Social Security Scheme (SSS) menanggung peserta sebanyak 8,9 juta tenaga kerja.

Dalam kaitan dengan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang menjadi pembahasan antara pemerintah dan DPR, perdebatannya menyangkut aspek kelembagaan. Rancangan RUU BPJS yang diinisiasi DPR disebutkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan dilebur (merger) menjadi satu dan bersifat tunggal. Dalam RUU BPJS tersebut, disebutkan bahwa penyelengaraan jaminan sosial baik asuransi sosial maupun bantuan sosial diselenggarakan oleh lembaga tunggal, sementara pemerintah mengusulkan agar BPJS dikelola dua badan atau multipayer, yaitu satu badan tersendiri yang mengatur masalah jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, dan jaminan kematian, sementara badan yang kedua mengelola pensiun dan hari tua. Penyatuan pengelola jaminan sosial dalam wadah tunggal (single payer) memang memiliki kelebihan, antara lain, semua masyarakat mendapatkan jaminan sosial, adanya koordinasi program jaminan sosial dalam satu atap, dana yang terkumpul lebih banyak, dan biaya operasional lebih efesien.

Namun, yang harus dikaji secara saksama BPJS tunggal adalah karakteristik di masing-masing sektor tenaga kerja (pegawai negeri sipil, swasta, informal, dan tenaga kerja migran) dan penduduk sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Selain itu, kompleksitas antara satu program dan program yang lainnya sangat berbeda sehingga dikhawatirkan dapat berdampak pada pengelolaan program yang tidak optimal. Sebagai contoh, program bantuan sosial dan asuransi sosial memiliki karakteristik tersendiri baik dari segi desain program, sumber pembiayaan, maupun pengelolaannya.

Selain itu, saya kira yang lebih penting diperdebatkan adalah menyangkut implementasi jaminan sosial bagi rakyat miskin dan tidak mampu yang bekerja di sektor informal seperti petani dan nelayan, terutama jaminan kesehatan. Tema yang perlu dikaji lebih jauh adalah bagaimana masyarakat kita dijamin dan secepatnya universal coverage (cakupan menyeluruh) tersebut dapat tercapai?

Dalam implementasinya, jaminan sosial yang merata harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, masalah politis. Apakah komitmen politik dan kepentingan politis serta konsensus politis antarberbagai pihak pemangku kepentingan sudah dicapai. Kedua, kemampuan fiskal negara dan ekonomi kita sudah cukup dapat memenuhi pembiayaan dari negara.

Sebagai contoh, di banyak negara, program jaminan sosial dimulai dan dapat terselenggara dengan pendapatan per kapita lebih dari 2.000 dolar AS. Jerman memulai program asuransi kesehatan sosial saat pendapatan per kapita 2.237 dolar AS, Austria 2.420 dolar AS, dan Jepang 2.140 dolar AS. Pendapatan per kapita saat ini mulai menginjak 3.000 dolar AS. Ini artinya bahwa kita sudah siap secara ekonomi.

Ketiga, faktor teknis. Berapa sebenarnya biaya yang dibutuhkan untuk program jaminan kesehatan yang dijadikan sebagai acuan standar? Korea Selatan dua tahun sebelum mewajibkan program jaminan kesehatan, distribusi populasi di perkotaan sekitar 50 persen. Masyarakat kita lebih dari 60 persen pertanian dan pedesaan, bagaimana akan menarik iuran sistem jaminan?
Wallahu ‘alam bi showab.

Republika, Jumat 13 Mei 2011

Thursday, March 26, 2009

Tb Ace Hasan Syadzily: Dekat dengan Rakyat

Selasa, 17 Maret 2009
Tubagus Ace Hasan Syadzily adalah sosok politisi yang dekat dengan rakyat. Hampir setiap waktu, pria kelahiran Labuan, Pandeglang, Banten, 19 September 1976, ini bersilaturahmi mengunjungi masyarakat di Banten.

Bahkan, dia kerap membantu dan menyerap aspirasi publik dengan mengunjungi daerah pelosok dan pedalaman yang terkadang hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Motivasi sosial yang tinggi ini tentu tak lepas dari jiwa berorganisasi yang kuat dalam dirinya, hingga menuntunnya terjun ke dunia politik. Apalagi, segudang pengalaman di organisasi mahasiswa dan LSM semakin menambah keyakinan bahwa politik adalah jalan hidupnya.

Berbagai kehendak rakyat selalu dilayaninya, mulai dari memberikan nasihat perkawinan, ceramah, diskusi, dan sebagainya. "Yang utama tentu mengabdi kepada kepentingan rakyat dengan memperjuangkan aspirasi mereka. Kita harus memberi bukti, bukan janji," kata politisi muda berjiwa santri ini mengutip motto Partai Golkar.

Sejak lama, magister antropologi UI ini bertekad menyejahterakan masyarakat Banten dengan menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari daerah pemilihan (dapil) Banten I pada Pemilu 2009.

"Tanpa dukungan dan restu masyarakat Banten, terutama para ulama, kiai, dan tokoh masyarakat, niat saya mengemban amanat rakyat tidak akan berarti apa-apa. Sebab, kekuasaan ada di tangan rakyat," kata mantan Presiden BEM IAIN Syarif Hidayatullah (1998) yang pernah diundang Deplu AS mengikuti Dialogue Project and Exchange Program for Youth Islamic Leaders ini.

Anggota Pokja Hublu dan Hankam DPP Partai Golkar ini berkomitmen besar meningkatkan kesejahteraan warga Banten dengan program pemberdayaan ekonomi, dengan fokus bidang pertanian modern berbasis rakyat dan meningkatkan SDM melalui pendidikan, terutama program edukasi umat. (Yudhiarma) SUARA KARYA

Tuesday, December 23, 2008

Saya dan Partai GOLKAR: Catatan untuk Komunitas Ciputat

Rasanya baru sekarang ditanyakan oleh teman di Ciputat tentang keterlibatan saya di partai Golkar. Kenapa kawan-kawan saya tidak mempertanyakan tentang aktivitas saya di partai warisan orde baru ini? Ada dua hal. Pertama, mungkin mereka sepenuhnya mendukung komitmen saya sehingga tidak perlu lagi mempertanyakan. Mereka sangat mafhum dengan pilihan politik yang saya ambil dengan berbagai alasan. Kedua, boleh jadi mungkin mereka tidak peduli. Namun saya sangat senang sekali jika Farhan mempertanyakan alasan saya terlibat dalam partai Golkar dan motivasi saya maju menjadi calon anggota DPR RI.

Kawan-kawan komunitas Ciputat, dahulu saya termasuk diantara mahasiswa Ciputat yang kritis bersama Abdulrahman 'Imam Mahdi' Eden, Ray Rangkuti, Teh Nong, Sirojuddin Abbas, Anik, Piet, Verry Muchlis, Muhibuddin, dan lainya. Bukan hanya kebijakan orde baru yang tidak luput dari kritik kita, tetapi berbagai kebijakan internal kampus pun selau kita kritik. Berbagai kajian kita laksanakan pada saat itu, disamping untuk memperkuat kapasitas intelektual kita, juga bagian untuk mencari basis argumentasi menyikapi berbagai kebijakan sosial politik pada saat itu. Beragam jaringan mahasiswapun kita bangun pada saat itu, dari mulai PIJAR, ALDERA, kawan-kawan gerakan mahasiswa di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan lain-lain. Intinya adalah bahwa kita sangat kritis terhadap politik orde baru yang memang dibangun diatas sendi-sendi otoritarianisme dan Golkar merupakan partai politik yang bertanggungjawab terhadap bangunan politik itu.

Kak Dien Syamsuddin saat itu masuk Golkar dan termasuk salah satu elit yang cukup berpengaruh. Itupun tidak lepas dari kritik kita, khususnya saya diberbagai forum diskusi di Ciputat. Alasan Kak Dien yang saat itu baru pulang dari Amerika masuk Golkar yaitu politik alokatif. Alasan ini selalu disampaikan berulang-ulang diberbagai forum di Ciputat. Ya alasan itu hampir sama dengan apa yang Farhan katakan, berjuang dari dalam. Namun, kitapun juga skeptis dengan alasan itu. Bagaimana mungkin bisa mempengaruhi politik orde baru yang sangat kuat hegemoninya. Sederhananya, alih-alih mempengaruhi, namun justru dipengaruhi.

Untunglah, gerakan mahasiswa 98 pada saat itu mampu mendobrak otoritarianisme dan hegemoni orde baru, dimana mahasiswa Ciputat menjadi salah satu elemen paling depan menduduki gedung DPR dengan dipimpin oleh Ray Rangkuti, Muhib, Saya, Very, Jay, Mixil, Piet, Anik, Burhan dll (saya & very waktu jadi tim materi yang mempersiapkan berbagai pernyataan sikap dalam setiap demontrasinya). Gerakan 98 telah membuka kebebasan politik. 5 Paket UU Politik (UU Partai Politik, ORMAS dll) yang selama ini menjadi alat hegemoni kekuasaan politik telah diganti menjadi UU politik yang lebih demokratis.

Melihat Golkar saat ini atau era reformasi dengan pada masa orde baru sangatlah berbeda. Pada masa orde baru, Golkar menjadi tunggangan kekuasaan Soeharto untuk melegitimasi kekuasaannya. Golkar bisa memenangkan pertarungan politik selama orde baru karena Pemilu yang tidak fair. Golkar menang karena didukung oleh kekuatan yang seharusnya tidak terlibat dalam pemerintahan demokratis, seperti militer dan birokrasi.

Namun era reformasi situasi politik sama sekali berubah. Partai Golkar sama dengan partai-partai lainnya di Indonesia. Tidak ada keistimewaan politik antara satu partai dengan partai lainnya dalam konteks kekuasaan. Golkar tidak lagi didukung oleh militer dan kekuasaan birokrasi. Istilah "berjuang dari dalam" sungguh sangat tidak relevan lagi. Karena masing-masing partai besar di Indonesia sudah pernah merasakan "dalamnya dan nikmatnya" kekuasaan setelah orde baru. Aliansi poros tengah (PKB, PAN Amien Rais, PPP dll) pernah berhasil menjadikan Gus Dur jadi presiden; PDI-P berhasil menjadikan Megawati sebagai Presiden. Partai barupun, yaitu Partai Demokrat berhasil mengusung SBY menjadi presiden.

Apa yang ingin saya katakan? Bahwa demokrasi yang hari ini kita jalankan meniscayakan semua orang untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif dalam politik tanpa harus ada tekanan, intimidasi, bebas untuk memilih dan dipilih. Golkar menjadi bagian dari partai politik yang dipilih itu. Pertanyaannya kenapa pilihan saya adalah partai Golkar? Kenapa tidak ke partai lainya.

Pertama, jujur saya katakan bahwa kesempatan pertama saya setelah lulus dari kuliah lebih banyak berinterikasi dengan para elit partai Golkar. Kesempatan saya untuk berkiprah lebih besar justru banyak difasilitasi oleh para elit Golkar. Kedua, partai Golkar lebih memiliki kesamaan secara ideologis-politis dengan saya. Hal ini bisa dilihat dari visi, misi dan platform partai, para aktivisnya sekarang ini berkiprah. Partai Golkar tidak menjadikan agama sebagai dasar platform perjuangan, apalagi menjual-jual agama. Partai Golkar tidak berniat sama sekali menjadikan agama sebagai basis ideologis kehidupan bernegara. Golkar memiliki kesamaan pandangan politik dengan saya dalam hal relasi antara agama-negara.

Ketiga, partai Golkar merupakan partai yang pengelolaan konflik politiknya lebih modern dan modern, dibanding dengan partai-partai lain. Pengelolaan konflik antar faksi di Golkar tertata dalam permainan politik yang mengasyikan. Fragmentasi antar berbagai kepentingan dimanage dengan dasar kedewasaan politik. Partai Golkar tidak tertumpu pada sumbu kekuasaan yang kharismatis-deterministik. Keempat, bagi saya, masuk dalam partai sebesar Golkar justru memungkinkan bagi akselarasi mobilitas vertikal saya dalam panggung kekuasaan. Bukankah tujuan berpolitik adalah sarana untuk meraih kekuasaan yang lebih besar? Dengan begitu, Kiprah politik dalam lingkup yang lebih besar juga dengan sendirinya memungkinkan bagi aktualisasi dari idealisme yang lebih besar pula.

Sekarang saya diberikan kesempatan untuk bersaing meraih kursi di DPR RI di daerah pemilihan Pandeglang Lebak dengan nomor urut 2. Tentu kesempatan itu harus saya pergunakan sebaik-baiknya untuk mendapatkan kursi di parlemen. Apa yang selalu saya sampaikan dalam berbagai kesempatan kampanye saya yang hingga saat ini terus saya lakukan di daerah.

Pertama, kedua kabupaten dapil saya merupakan daerah di Banten yang masih tertinggal dibandingkan dengan kab/kota lainnya di Banten. Pendidikan, peningkatan ekonomi dan infrastruktur menjadi masalah yang dihadapi daerah ini. Saya ingin menjadi wakil rakyat yang dapat memperjuangkan masalah tersebut melalu wewenang yang dimiliki anggota parlemen di DPR RI melalui peningkatan budget untuk hal tersebut.

Kedua, usaha saya untuk meraih dukungan masyarakat juga sebagai upaya untuk pendidikan politik untuk masyarakat di kedua daerah tersebut Terus terang sejauh pemantauan dan hasil terjun ke kampung-kampung, Pemilu merupakan ajang untuk mempertontonkan modal dan kekuasaan kepada masyarakat. Sangat memprihatinkan. Masyarakat tidak dibuat menjadi masyarakat yang cerdas.

Semoga Pemilu 2009 menghasilkan wakil rakyat yang berkualitas.

Mohon doa dan dukungannya..

Thursday, October 23, 2008

Tb Ace Hasan Syadzily: Santri yang Merakyat

Jiwa berorganisasi yang kuat dalam diri Tb Ace Hasan Syadzily akhirnya menuntun pria kelahiran Labuan, Pandeglang, Banten, 19 September 1976, ini masuk dalam kancah perpolitikan nasional. Apalagi segudang pengalamannya di sejumlah organisasi kemahasiswaan dan LSM semakin menambah keyakinan bahwa politik adalah jalan hidupnya.

"Adanya kepercayaan yang diberikan kepada generasi muda, menunjukkan bahwa Partai Golkar memiliki komitmen terhadap regenerasi dan sirkulasi kepemimpinan politik," kata politisi muda yang berjiwa santri ini tentang motivasinya bergabung dengan partai politik.

Atas dasar itulah, lulusan Pascasarjana (S-2) pada program Ilmu Antropologi (FISIP UI) ini berniat ikut berpartisipasi untuk menyejahterakan masyarakat Banten dengan menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari daerah pemilihan (dapil) Banten I pada Pemilu 2009.

"Kalau tanpa dukungan dan restu masyarakat Banten, terutama para ulama, kiai, dan tokoh masyarakat, niat saya untuk mengemban amanat rakyat, saya kira tidak akan punya arti apa-apa. Sebab, saat ini kekuasaan ada di tangan rakyat" kata mantan Presiden BEM IAIN Syarif Hidayatullah (1998) yang pernah juga diundang oleh Deplu AS untuk mengikuti Dialogue Project and Exchange Program for Youth Islamic Leaders, sebuah program pertukaran para pemimpin muda Islam yang difasilitasi Ohio University, Attens, AS.

Anggota Pokja Hubungan Luar Negeri dan Pertahanan Keamanan DPP Partai Golkar ini bertekad bersama masyarakat Banten meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan program pemberdayaan ekonomi rakyat dengan fokus di bidang pertanian yang modern dan berbasis rakyat serta meningkatkan sumber daya manusia dengan fokus pada dunia pendidikan, terutama pendidikan umat. Untuk merealisasikan dua misi utama tersebut, ia menilai diperlukan dukungan politik dari berbagai pihak. (M Kardeni)

Suara Karya. Rabu, 24 September 2008

Artis, Tokoh Lokal, atau Wajah Lama di Banten I

DI daerah pemilihan Banten I, 38 parpol peserta pemilu memperebutkan sekitar 1,5 juta suara pemilih yang tersebar di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang untuk 6 kursi DPR.

Daerah pemilihan Banten I menjadi arena pertarungan sejumlah artis, tokoh intelektual, dan tokoh lokal yang diajukan sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR oleh partai politik.

Ada perbedaan daerah pemilihan bila dibandingkan dengan Pemilu 2004. Pada waktu itu, Provinsi Banten terbagi menjadi dua daerah pemilihan. Banten 1 yang meliputi Serang, Pandeglang, dan Lebak memperebutkan 11 kursi. Sedangkan pada Pemilu 2009, Banten terbagi menjadi tiga daerah pemilihan.

PDI Perjuangan mengandalkan pelawak TB Dedi Suwandi Gumelar atau yang akrab dipanggil Miing di nomor urut 1. Sosok artis juga dijagokan Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengajukan penyanyi Ahmad Zulfikar Fawzi yang lebih dikenal dengan nama Ikang Fawzi di nomor urut 1. Partai Demokrat menempatkan artis sinetron Jane Shalimar di nomor urut 6.

Penempatan artis tidak diikuti Partai Golkar di daerah itu. Partai berlambang beringin itu menjagokan tokoh lokal dan tokoh intelektual sebagai caleg. Di daerah tersebut, Golkar mengusung Ketua DPD Golkar Provinsi Banten Mamat Rahayu Abdullah di nomor urut 1. Mamat sudah teruji pada Pemilu 2004 dengan berhasil menjadi anggota DPR dari daerah Banten 1. Golkar juga mengajukan Ketua DPD Golkar Kabupaten Lebak Herry Djuhaeri sebagai caleg nomor urut 4.

Selain tokoh lokal, Golkar juga mengajukan peneliti Indonesian Institute for Civil Society (Incis) Tubagus Ace Hasan Syadzily sebagai tokoh intelektual dengan nomor urut 2.

Staf ahli Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Entjeng Shobirin maju sebagai caleg dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan nomor urut 2. Partai berlambang Kabah itu juga menjagokan Bupati Pandeglang Achmad Dimyati Natakusuma di nomor urut 6.

Sejumlah wajah lama yang sudah menjadi anggota DPR juga masih diajukan sebagai caleg dari daerah pemilihan itu.

Ikang Fawzi berkeyakinan bisa meraup suara signifikan. Sebab, ia sudah berkeliling ke daerah untuk menghibur masyarakat. "Saya mendatangi masyarakat ke desa-desa sambil menghibur dengan gitar. Rakyat kan sudah susah, jadi mereka harus dihibur. Ini bentuk kepedulian saya kepada masyarakat sebagai artis, politisi, sekaligus putra daerah," katanya di Jakarta, kemarin.

Ikang juga sudah melakukan kalkulasi politik dan mempelajari peta politik di Banten I. "Setiap parpol punya pemikiran dan strategi. Saya putra daerah nomor 1 dari PAN. Saudara saya di sana banyak. Saya melakukan pola yang berbeda dengan parpol lain. Saya memperkuat hubungan interpersonal," katanya.

Sedangkan mengenai kehadiran Miing, menurut dia, tidak masalah. "Saya akan bertarung dengan artis lain di sana seperti Mas Miing. Tapi kami akan bertarung sehat, karena selama ini sesama artis memiliki hubungan baik," katanya.

Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Rully Chairul Azwar menjelaskan partainya lebih memilih kader dan intelektual sebagai caleg di Banten I. Menurutnya, Golkar sudah cukup dikenal, jadi tidak perlu menggunakan figur terkenal seperti artis.
"Kalau mengambil figur dari luar, berarti partai gagal melakukan kaderisasi. Kami yakin mempertahankan bahkan menambah perolehan kursi dengan menempatkan kader senior yang memiliki kedekatan dengan Banten I seperti Mamat Rahayu," katanya.
Sementara itu, Entjeng Shobirin mengaku tidak terlalu ngotot dalam berkampanye. Pasalnya, PPP tidak menerapkan sistem pemeringkatan perolehan suara dalam penentuan caleg terpilih.

"Karena masih pakai sistem nomor urut, tidak usah ngoyo karena nomor urut teratas yang menikmati. Kalau sistem suara terbanyak, orang harus bekerja keras untuk menguji akseptabilitas dirinya di masyarakat," katanya.(P-1)

Rabu, 15 Oktober 2008. Media Indonesia
Penulis Kennorton Hutasoit

SUARA TERBANYAK DAN KETERWAKILAN RAKYAT

Kebijakan suara terbanyak dalam pemilihan umum (Pemilu) legislatif 2009 secara resmi diterapkan oleh 3 partai politik, yaitu Partai Golongan Karya (Partai Golkar), Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN). Kebijakan ini tentu dipahami dan ditanggapi secara beragam, baik oleh internal ketiga partai tersebut maupun kalangan eksternal partai.

Dari sisi legal, kebijakan ini memang memiliki sisi kelemahan karena UU tentang Pemilu No 10 tahun 2008 secara tegas menyebutkan bahwa calon legislatif akan mendapatkan kursi jika mendapatkan suara sekurang-kurangnya 30 % dari jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP). Pasal 214 ayat (a) menyatakan “calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP”.

Untuk menutupi titik kelemahan tersebut, masing-masing partai telah mensiasatinya dengan kebijakan internal. Misalnya, Partai Golkar menerapkan aturan bahwa semua Calon Anggota Legislatif harus menandatangani surat kesediaan pengunduran diri jika Caleg tidak memperoleh suara terbanyak sekalipun berada pada nomor urut paling atas. Apabila tidak bersedia, maka yang bersangkutan tidak boleh dicalon oleh partai. Secara legalitas, menurut Ketua Umum DPP Partai GOLKAR, HM Jusuf Kalla, kebijakan tersebut tidaklah menyalahi ketentuan yang berlaku. Kebijakan tersebut telah dikonsultasikan dengan KPU Pusat.

Saya tidak ingin berpolemik pada aspek hukum, karena DPP Partai Golkar sudah mempertimbangkan secara matang-matang aspek legalitasnya. Hal ini semakin diperkuat dalam hasil Rapimnas 2008 pekan lalu. Saya ingin mengurai lebih jauh relevansi suara terbanyak dalam kerangka membangun demokrasi yang lebih berkualitas di Indonesia.

Demokrasi melalui pemilihan umum, sejatinya merupakan mekanisme untuk mecari pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang bertanggungjawab (accountable), memiliki akar yang kuat dan dekat dengan rakyat. Rakyat sesungguhnya menjadi menjadi subyek yang utama dalam menentukan para wakilnya. Kerena itu, rakyat harus mengetahui lebih komprehensif tentang orang-orang yang akan memperjuangkan aspirasinya di parlemen di berbagai tingkatan. Masyarakat harus tahu secara mendalam track record, latar belakang, kemampuan dan kapasitas para wakilnya nanti. Rakyat tidak diberikan suguhan seperti ”kucing dalam karung”, demikian kata peribahasa.

Dengan demikian, para calon anggota legislatif dituntut untuk lebih banyak turun mengunjungi rakyat, berdialog secara intensif, mendengarkan keluhan dan harapan rakyat serta menawarkan program-program yang ditawarkan baik program Partai maupun program individu yang ingin direalisasikan di daerah tersebut untuk mencari dukungan dari masyarakat pemilih. Dengan begitu, para calon wakil rakyat lebih memiliki pertanggungjawaban publik.

Bagi partai politik, kebijakan ini tentu akan menggerakkan semua kadernya untuk memiliki harapan (hope) mendapatkan ”kursi” tanpa melihat nomor urut. Nomor ”urut paling bawah” memiliki keberpeluangan (probability) yang sama dengan nomor ”urut paling atas”. Pengalaman beberapa pemilu yang lalu, nomor urut paling atas merasa ”di atas angin” sehingga terdorong untuk tidak bekerja secara maksimal untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Demikian pula dengan nomor urut paling bawah, jika menerapkan nomor urut, akan bekerja tidak maksimal pula karena dianggap sebagai ”caleg pelengkap penderita” sehingga tidak punya harapan untuk mendapatkan kursi.

Ada kritik yang disampaikan bahwa dengan suara terbanyak memungkinkan bagi tokoh-tokoh populis, seperti artis, akan lebih berpeluang menang. Tentu asumsi itu bisa jadi salah karena menganggap masyarakat kita masih melihat hanya an sich aspek popularitas. Masyarakat sesungguhnya memiliki preferensi sendiri untuk menentukan pilihannya. Masyarakat kita sudah memiliki kecerdasan dan rasionalitas untuk memilih mana yang terbaik untuk menjadi wakilnya di parlemen. Dengan model ini pula partai politik dituntut untuk menawarkan calon-calon yang terbaik. Calon legislatif yang memiliki integritas, kapabilitas, kapasitas dan dekat dengan rakyat.

Dibalik kebijakan ini, secara diam-diam, oligarki elit partai politik akan mengalami degradasi. Pengurus partai tidak lagi memiliki privalge dibandingkan dengan kader partai lainnya. Partai politik dituntut, melalui kadernya, untuk lebih bekerja keras dan lebih dekat dengan rakyat. Disamping itu, tidak ada lagi keistimewaan bagi nomor paling atas untuk memberikan ”setoran” paling besar kepada (pimpinan) partai politik seperti praktek yang terjadi selama ini. Semua potensi yang dimiliki kader partai akan didayagunakan untuk pemenangan dirinya.

Pada masa yang akan datang, kebijakan ini sedikit banyak akan mempengaruhi sistem kehidupan kepartaian di Indonesia. Partai politik dituntut untuk melakukan pembenahan rekruitmen kader yang berkualitas dan mengakar di masyarakat. Partai tidak akan sembarangan menawarkan calon-calon anggota legislatif yang tidak memiliki akseptabilitas. Bagi anggota legislatif yang akan terpilih nanti tidak akan semena-mena meninggalkan konstituennya dan melupakan orang yang telah memilihnya. Kalau anggota DPR/DPRD nanti melupakan daerah pemilihan, ia bagaikan ”kacang lupa dengan kulitnya” dan jika ingin mencalonkan kembali, maka ia tidak akan dipilih lagi oleh rakyat.

Kita berharap kualitas demokrasi di Indonesia mengarah pada demokrasi lebih substantif, bukan sekedar prosedural. Pemilihan umum yang disertai mekanisme suara terbanyak lebih menjamin untuk menghasilkan wakil-wakil rakyat yang lebih amanah, dekat dengan rakyat dan dapat memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan wakil rakyat yang sama sekali tidak mengetahui daerah yang diwakilinya. Wallahu ’alam bi shawab.