Monday, September 17, 2007

PILKADA DAN APATISME POLITIK

SEJAK Juni 2005, pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung telah berjalan di hampir ratusan daerah di Indonesia. Untuk November 2006 ini, pilkada digelar di Provinsi Banten, Provinsi Gorontalo, dan Kota Yogyakarta.

Sebagian besar pelaksanaan pilkada berlangsung dengan baik, aman, dan lancar. Meskipun di beberapa daerah ada masalahmasalah yang mencuat ke publik nasional seperti Kota Depok, Provinsi Sulawesi Barat, Kab Tuban dan beberapa kota/kabupaten lainnya. Namun, secara umum proses pelaksanaan pilkada berjalan baik.

Yang menarik dari pilkada langsung ini adalah antusiasme masyarakat yang rendah dalam memilih calon kepala daerah. Berbeda dengan pemilihan legislatif pada pemilu dan pemilihan presiden langsung (pilpres) tahun 2004 yang hampir disambut dengan hingar bingar dan diikuti lebih dari 90% pemilih di Indonesia.

Sementara, dalam pilkada di berbagai daerah jumlah pemilih yang berpartispasi ternyata hanya diikuti kurang dari 60–70 % dari jumlah daftar pemilih tetap. Masalah partisipasi masyarakat dalam Pilkada merupakan hal penting. Sebab, keikutsertaan masyarakat dan partisipasinya dalam memilih calon pemimpin di daerahnya adalah kunci utama dalam keterlibatannya membangun demokrasi di tingkat lokal.

Pilkada merupakan proses demokrasi di mana sirkulasi kepemimpinan daerah terjadi. Dalam proses itu, masyarakat menentukan siapa saja pemimpinnya yang layak atau tidak untuk lima tahun yang ke depan. Karena itu, antusiasme masyarakat dalam memilih kepala daerah sangat mempengaruhi legitimasi kepemimpinan di daerah tersebut.
Sebaliknya, jika angka turn out cukup besar, berarti sedikit banyak realitas ini merupakan sinyal ketidakpercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Demokrasi belum dirasakan sebagai mekanisme untuk memperbaiki kehidupan ekonomi secara konkret dalam kehidupan seharihari. Sistem demokrasi yang dipraktikkan dalam konteks lokal tidak pernah secara kokoh dipercayai secara efektif untuk mengubah kehidupan masyarakat.

IRONI PILKADA

Untuk menyebutkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pilkada, seperti terjadi dalam pilkada Provinsi Banten yang digelar minggu lalu. Menurut data yang dilansir Lingkaran Survei Indonesia, keikutsertaan masyarakat dalam pilkada Banten hanya 58%, berarti angka turn-outnya sebesar 42%. Sebuah angka yang cukup besar.

Sejatinya, publik Banten memanfaatkan momentum pilkada ini untuk memberikan rewarddan punishment serta evaluasi terhadap kinerja kepemimpinan di provinsi ini. Demikian pula dengan daerah-daerah lain yang dapat ditarik tingkat turn out-nya rata-rata kurang dari 70%.

Di Kab Kutai Kartanegara (Kukar), dari 375.925 jiwa terdaftar, terdapat 29,3% atau 110.241 orang yang tidak menggunakan hak pilihnya, di Kota Cilegon (23,7%), Kota Pekalongan (32%), Kebumen (28,2%), Indragiri Hulu (39,42%), Bangka Tengah (41%), Bangka Selatan (30%), Bangka Barat (32%), Kota Depok (39,2%). Bahkan, di Jayapura rendahnya partisipasi masyarakat di daerah tersebut hampir mendekati 50 %. Ini sangat ironis.

Sejatinya, pilkada mendorong masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses politik itu. Sebab, pemilihan kepala daerah di tingkat lokal akan terkait dengan kepentingan sosial, ekonomi, dan politik mereka secara langsung. Setiap hari mereka akan berhadapan dengan masalah-masalah pemerintahan yang dikelola kepala daerahnya (direct government).

Hal ini menyangkut pengelolaan pelayanan publik, mulai pengadaan fasilitas umum, fasilitas kesehatan, peraturan daerah (perda), jalan raya, dan lain-lain. Sebaliknya, pemilihan legislatif dan pilpres pada tahun 2004 sesungguhnya secara keterpengaruhan politik (political impact) tidaklah secara langsung terasa bagi kehidupan masyarakat di tingkat bawah atau lokal. Memang, secara hukum, tingkat rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam pilkada tidak mengurangi keabsahan hasilnya.

Dalam UU No.32/2002 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan pemerintah (PP) No. 17 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah tidak diatur mengenai apakah rendahnya partisipasi pemilih mempengaruhi terhadap keabsahan pemilihan kepala daerah. Berapapun tingat persentase pemilih, selagi proses pilkada itu tidak menyalahi aturan dan tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran, maka pilkada tetap dianggap sah. Inilah titik kelemahan perangkat peraturan pilkada kita.

RENDAHNYA PARTISIPASI

Pertanyaannya, kenapa tingkat partisipasi masyarakat rendah dalam pilkada? Jawabannya dapat dilihat dari dua hal. Pertama, secara teknis yang menyangkut kesiapan penyelenggara pilkada, yaitu KPUD. Hal utama yang sering menjadi masalah adalah sosialisasi yang kurang maksimal oleh KPUD. Di samping itu, masalah teknis lainnya adalah pendataan pemilih.

Sekalipun masyarakat tahu tentang adanya pilkada, masyarakat tidak terdata dengan baik sehingga tidak mendapatkan kartu pemilih. Hal teknis ini sebenarnya dapat dituntut pertanggungjawabannya kepada KPUD. Sebab, dengan begitu, disengaja atau tidak, KPUD telah mencabut hak-hak politik warga yang mempunyai hak untuk dipilih dan memilih.

Kedua, berkaitan dengan substansi demokrasi. Apatisme masyarakat dalam pilkada dirasakan sebagai bentuk protes terhadap proses politik yang tengah berjalan. Pilkada yang dirasakan kurang berpengaruh langsung terhadap kepentingan sosial, ekonomi, dan politik mereka. Keterlibatan masyarakat dalam pilkada dirasakan tidak akan mengubah kesejahteraan ekonomi mereka.

Di hampir sebagian kampanye yang digelar partai politik dan calon kepala daerah, tema dan programnya masih bersifat abstrak dan umum-umum saja. Jarang menawarkan peningkatan kesejahteraan yang langsung dirasakan pemilih, atau perbaikan pelayanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan masalah penciptaan lapangan kerja.

Tak jarang kampanye yang bersifat dialogis hanya dihadiri pendukungnya dan segelintir orang. Kampanye publik tak lebih dari konser ”dangdutan” dan bersifat karitatif-rekreatif. Sekalipun rendahnya partisipasi masyarakat tidak mempengaruhi keabsahan hasil pilkada, seyogianya pihak-pihak yang terlibat melakukan pembenahan terhadap pilkada ini. Terutama sekali, dalam meningkatkan kualitas demokrasi di daerah.

Ada baiknya jika usulan penyederhanaan pelaksanaan pilkada menjadi serentak pelaksanaan dipertimbangkan. Penyelenggaraan pilkada secara serentak dapat menarik perhatian publik, seperti dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden sehingga masyarakat lebih memiliki keterlibatan yang lebih karena menjadi perhatian semua masyakarat Indonesia. Di samping itu, masalah pembangunan di daerah juga pada prinsipnya memiliki keterkaitan dengan problem di tingkat nasional.(*)

Artikel ini pernah dimuat di "Koran Sindo" tanggal 07 Desember 2006

Friday, September 14, 2007

KAUM MUDA DAN CIVIL SOCIETY

Demokrasi yang substansial bukan hanya terletak pada terselenggaranya mekanisme pengelolaan kekuasaan, seperti adanya lembaga politik eksekutif-legislatif-yudikatif melalui prosedur pemilihan umum secara langsung, tetapi juga harus dibarengi dengan peran masyarakat dan kultur politik yang melingkupinya. Salah satu pilar yang sangat penting dalam konteks membangun demokrasi yang sejati adalah tumbuhnya masyarakat madani (civil society) yang kuat dan mandiri di luar negara. Almarhum Nurcholish Madjid mengatakan bahwa demokrasi yang substansial itu membutuhkan “rumah” yang kokoh dan “rumah” tersebut adalah masyarakat madani, dimana berbagai macam perserikatan, klub, asosiasi, kelompok-kelompok masyarakat bergabung menjadi perisai dan perantara antara negara dan warga negara.

Secara teoritis, kelompok cendikiawan merupakan salah satu elemen utama dalam civil society (masyarakat madani). Dalam sosiologi pengetahuan, kelompok cendikiawan merupakan kelas sosial baru yang menguasai ilmu pengetahuan dan dengan pengetahuannya tersebut mereka memiliki kapital budaya untuk berkiprah dan dikembangkan menjadi kapital politik. Dalam prespektif Gramcian, peran kelompok cendikiawan merupakan bagian dari kelompok intelektual organik yang bertindak untuk mengartikulasikan kepentingan politik masyarakat dalam gerakan sosial baru yang berwatak emansipatoris dalam hegemoni dan agency proses transformasi sosial.

Pentingnya kelompok intelektual dalam membangun masyarakat madani merupakan suatu keniscayaan. Namun peran ideal tersebut tentu harus dikontekstualisasikan dengan kondisi sosial, politik, dan budaya dari suatu masyarakat. Sebab, perkembangan konsep civil society sendiri terus mengalami dinamika sesuai dengan konteks sosial-politik dari suatu masyarakat atau negara. Peran civil society akan berbeda ketika berhadapan dengan suatu kondisi masyarakat yang telah demokratis seperti yang terlihat dalam negara-negara yang telah mapan sistem demokrasinya. Sebaliknya, jika negara sangat kuat maka dengan sendirinya posisi masyarakat madaninya juga akan mengalami perbedaan dalam peran, fungsi dan strateginya berhadapan dengan negara.


Civil Society: Kerangka Konseptual

Konsep civil society, menurut Ernest Gellner (1994), pertama kali diperkenalkan oleh Adam Ferguson sejak ia menulis An Essay on the History of Civil society (1773). Filsuf Skotlandia pada masa renaissance ini mengamati peralihan dari masyarakat aristokratis ke masyarakat industri, seiring dengan fase kapitalisme yang mulai menancapkan kukunya di daratan Eropa barat. Ferguson memang cukup piawai menguraikan implikasi sosial dan politik persoalan ekonomi masyarakat saat itu. Akan tetapi, bukunya itu sendiri tidak cukup memadai menjelaskan fenomena civil society, terutama dalam konteks perkembangan civil society dewasa ini.

Rumusan civil society makin menemukan bentuknya setelah Alexis de Tocquaville pada abad ke-19 melakukan penelitian lapangan yang hasilnya termaktub dalam karya klasiknya, Democracy in America (1969). Tocquaville sendiri terinspirasi oleh Montesquieu. Ia menyatakan bahwa asosiasi-asosiasi voluntir berguna untuk memperantarai aspirasi masyarakat dengan para pengambil kebijakan. Asosiasi perantara merupakan aset vital bagi demokrasi, kata Robert W. Hefner (2000). Menurut definisi AS. Hikam yang merujuk pada Tocquaville, civil society adalah wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi “berhadapan” dengan negara, dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya (1996).

Dalam melihat hubungan masyarakat dengan negara, civil society dianggap memiliki tiga fungsi; Pertama, sebagai komplementer di mana elemen-elemen civil society mempunyai aktivitas memajukan kesejahteraan dengan memajukan kegiatan yang ditujukan untuk melengkapi peran negara sebagai pelayan publik (public services). Kedua, sebagai subtitutor. Artinya, kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dan ketiga, sebagai kekuatan tandingan negara atau counterbalancing the state atau countervailing forces. Kalangan civil society melakukan advokasi, pendampingan, ligitasi, bahkan praktik-praktik oposisi untuk mengimbangi kekuatan hegemonik negara atau paling tidak menjadi wacana alternatif di luar aparatur birokrasi negara.

Fungsi-fungsi civil society di atas mengandaikan perbedaan titik-tekan implementasi gagasan-gagasan civil society, antara ranah sosial-budaya ataukah pada lingkup politik. Studi Michael W. Foley dan Bob Edwards misalnya, menunjukkan distingsi kategoris antara civil society yang berorientasi horisontal yang lebih dekat pada irisan budaya dengan civil society vertikal yang dianggap lebih “politis.” Iwan Gardono (2001) menambahkan sebentuk civil society yang merupakan kombinasi antara keduanya. Ia melanjutkan bahwa civil society yang menekankan pada aspek budaya dan bersifat horisontal biasanya terkait erat dengan “civility” atau keberadaban dan “fraternity.” Indigenisasi konsep civil society dilakukan dalam rangka menarik relevansi dengan konteks keumatan. Anwar Ibrahim, Nurcholish Madjid dan Dawam Raharjo yang mengusung masyarakat madani misalnya, termasuk prototipe kalangan yang melihat civil society sebagai konsep budaya. Meskipun bagi kalangan muslim-tradisionalis seperti AS. Hikam, Ahmad Baso dan lain-lain enggan memakai istilah masyarakat madani untuk menyebut civil society, tapi lebih suka memakai kata civil society atau sekurang-kurangnya diterjemahkan menjadi masyarakat sipil, mereka sering dikategorikan sebagai kalangan civil society yang bekerja pada ranah kultural. Kategori ini tidak bersifat mutlak karena AS. Hikam misalnya, pernah menulis bahwa civil society merupakan sebuah arena tempat para intelektual organik menjadi kuat yang tujuannya mendukung proyek hegemoni tandingan.

Adapun civil society dalam konotasi vertikal lebih merujuk pada dimensi politis, sehingga lebih dekat pada aspek citizen dan liberty (Iwan Gardono. 2001). Identifikasi civil society sebagai masyarakat warga atau kewargaan yang dianut Ryas Rasyid, civil Islam—yang dikontraskan dengan regimist Islam— yang dipakai Robert W Hefner condong ke pengertian civil society secara vertikal. Dalam analisis Iwan Gardono, perbedaan titik tekan tersebut berimplikasi pada pemaknaan yang beragam, atau setidaknya istilah-istilah yang beragam untuk menyebut civil society ternyata tidak sekadar persoalan etimologis, tapi juga mengandung perbedaan substansi penekanan dari masing-masing konsep atau istilah civil society itu.

Sementara kombinasi vertikal dan horisontal, dalam pandangan Iwan Gardono, tampak dalam definisi civil society menurut Ralf Dahrendorf dan Afan Gaffar, meskipun secara umum keduanya lebih condong pada pengertian vertikal. Dengan mengombinasikan secara horisontal dan vertikal, maka fungsi komplementer, substitutor dan countervailing forces menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Barangkali persoalannya terletak pada bagaimana kalangan civil society dalam pelbagai sektor dan area of concern dari aktivitas yang mereka lakukan dapat berbagi peran menuju terciptanya demokratisasi yang berbasis masyarakat (based on communities).

Sekilas Civil Society di Indonesia

Sesungguhnya masyarakat madani dalam sejarah Indonesia terlebih dahulu lahir sebelum negara Indonesia merdeka. Bahkan menurut Dawam Rahardjo, negara RI ini dilahirkan oleh masyarakat madani. Di masa kolonial, khususnya menjelang Perang Dunia Kedua, kaum cendikiawan memainkan peranan penting, baik dalam proses pembentukan masyarakat maupun dalam upaya meruntuhkan negara kolonial. Di masa kolonial, proses terbentuknya masyarakat sipil berjalan sangat lambat. Tapi, jika kita melihat masyarakat sipil dari sudut Lockean, Rousseauan dan Smithian, yakni sebagai masyarakat ekonomi dan masyarakat politik sekaligus, maka masyarakat sipil yang bercorak politik lebih cepat berkembang. Di masa kolonial Hindia Belanda, telah tumbuh berbagai jenis perhimpunan sukarela (voluntary associations), baik yang bercorak budaya, politik, ekonomi dan keagamaan. Pada umumnya berdirinya organisasi-organisasi itu, khususnya menjelang Perang Dunia II, dipelopori oleh kaum cendikiawan. Boleh dikatakan, kaum cendikiawan bersama-sama dengan ulama, -- yang sering disebut juga cendikiawan tradisional --, memegang peranan sentral dan mewarnai pembentukan negara. Lahirnya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang bercorak politik, keagamaan, budaya dan sosial seperti Sarikat Islam (SI), Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyyah, dan organisasi-organisasi lainnya menjadi bukti nyata bahwa organisasi-organisasi inilah yang secara aktif memerankan dirinya sebagai masyarakat madani yang sesungguhnya berhadapan dengan negara kolonial.

Dalam sejarah kehidupan politik Indonesia modern, negara selalu menjadi kekuatan yang sangat dominan, kecuali setelah runtuhnya orde baru. Eksperimentasi Presiden Soekarno dengan demokrasi terpimpin, menjadikan negara sangat kuat mengatur kehidupan masyarakat. Mungkin hal ini bisa dipahami karena Indonesia baru memulai membangun negara (state building). Dominasi negara semakin menemukan bentuknya yang kuat ketika orde baru menancapkan kekuasaan secara oligarkis. Pemerintahan orde baru sangat dominan dan mempunyai kekuatan penetrasi sangat luas dalam segala dimensi kehidupan serta terjadi politisasi secara massif dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Sebagai konsekwensinya, pertumbuhan dan perkembangan civil society senantiasa mengalami kendala baik struktur maupun kultural, sehingga ia tetap lemah. Karena itulah pertumbuhan dan perkembangan sistem politik demokratis senantiasa berada pada bentuk luar dan tidak mampu berkembang secara substantif dan partisipatoris. Negara menjadi pemegang monopoli kekuasaan baik pada ranah wacana maupun pada ranah praksis kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Melalui strategi-strategi koorporasi, kooptasi, dan hegemoni, politik depolitasasi secara sistematis dan efektif dilancarkan. Pengelompokan politik, ekonomi, dan sosial dilakkukan oleh negara sehingga masyarakat dengan secara efeftif dapat dikontrol dan diawasi oleh negara. Kepemimpinan politik dan sosial dimasukkan dalam startegi kontrol dan pengawasan yang sama melalui jaringan kooptasi dan jika menolak akan dihadapkan represi baik fisik maupun psikis.

Namun dibalik sistem politik seperti itu, seperti dikatakan Gramsci, negara juga mempunyai peranan dalam pembinaan masyarakat. Di Indonesia era orde baru, negara, secara tidak langsung ikut membentuk masyarakat sipil. Setidak-tidaknya, melalui pembangunan, terutama sejak Orde Baru, negara telah mengangkat individu-individu untuk memasuki masyarakat ekonomi yang kompetitif. Sementara itu, tradisi gerakan kemasyarakatan, agaknya tidak hilang begitu saja, bahkan mengalami revitalisasi. Organisasi-organisasi kemasyarakatan, merasa tidak cukup puas dengan peranan negara. Hal ini ikut menjelaskan gejala lahirnya LSM sebagai kekuatan pengimbang dan kekuatan yang memberdayakan masyarakat-masyarakat marjinal. Munculnya kelompok-kelompok kritis pada masa orde baru seperti LSM, sekalipun mengalami represi yang luar biasa oleh negara, sesungguuhnya telah mengarahkan pada upaya kontrol terhadap negara, sekalipun dalam posisi yang lemah. Sampai kemudian mampu menjadi penggerak bagi runtuhnya kekuasaan orde baru. Dan kekuatan kritis ini, pada perkembangan selanjutnya menjadi kekuatan yang efektif dan menjadi modal utama dalam pengembangan demokrasi di Indonesia.

Kontekstualisasi Civil Society dan Kiprah Kaum Muda

Kini kita memasuki babak baru dari kehidupan demokrasi. Dominasi negara kini mulai pudar. Kebebasan dalam arti yang sesungguhnya telah dibuka secara lebar. Kebebasan pers, menyampaikan pendapat, kebebasan mendirikan organisasi, partai politik, terbuka dengan luas. Kelompok civil society diberikan kebebasan untuk hidup dan berkembang. Negara tidak lagi menjadi momok yang menakutkan bagi terbangunnya kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang lebih sehat, kompetitif dan demokratis.

Sekalipun demikian, reformasi politik yang terjadi di Indonesia bukan berarti telah melahirkan transformasi politik secara menyuluruh. Sendi-sendi kehidupan yang diwariskan oleh sistem sebelumnya masih cukup kuat berakar dalam kehidupan politik kita. Kepemimpinan politik masih dipengaruhi oleh kultur politik Indonesia sebelumnya. Bahkan dalam bidang ekonomi, kelas menengah ekonomi dan strategi pemberdayaan ekonomi masih didominasi oleh model yang diwariskan sistem ekonomi sebelumnya. Birokrasi yang seharusnya mampu untuk mendorong ke arah pelayanan publik bagi masyarakat dan mendorong ke arah penciptaan pertumbuhan ekonomi yang kompetitif dan daya saing yang tinggi, justru masih diwarnai oleh penyimpangan yang sangat signifikan. Sehingga tak heran jika di era reformasi ini, Indonesia masih dihantui oleh korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sekalipun pemerintah menggembar-gemborkan pemberantasan KKN tersebut. Ditambah lagi dengan upaya penagakkan hukum masih jauh dari harapan, karena aparat penegak hukum yang tidak konsekwen melakukan tugas-tugas penegakkan hukum.

Dalam rangka reformasi meyeluruh, pemberdayaan civil society adalah sebuah keniscayaan apabila tujuan jangka panjangnya adalah sisyem politik demokratis yang benar-benar partisipatoris. Karena peran civil society sangat besar untuk tetap menumbuhkan dan mempertahankan sistem demokrasi yang partisipatoris. Larry Diamond mengatakan bahwa civil society memberikan kontribusi bagi demokrasi yang dilihat dari enam aspek. Pertama, civil society menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi keseimbangan negara. Asosiasi independen dan media yang bebas memberi dasar bagi pembatasan kekuasaan negara melalui kontrol publik. Kedua, beragam dan pluralnya dalam masyarakat sipil dengan berbagai kepentingannya, bila diorganisir dan dikelola dengan baik, maka hal ini dapat menjadi dasar yang penting bagi persaingan demokratis. Ketiga, civil society juga akan memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik, meningkatkan efektifitas politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan. Keempat, ikut menjaga stabilitas negara. Dalam arti bahwa civil society, karena kemandiriaannya terhadap negara, mampu menjaga independensinya yang berarti secara diam-diam mengurangi peran negara. Kelima, sebagai wadah seleksi dan lahirnya para pemimpin politik yang baru. Dan terakhir, menghalangi dominasi rezim militer.

Untuk memberdayakan civil society, bagaimana strategi pemberdayaannya? Bagaimana kiprah kaum muda dalam kerangka memberdayakan civil society tersebut? Paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan dalam rangka pemberdayaan civil society. Pertama, memperkuat dan menumbuhkan organisasi kemasyarakatan sesuai dengan potensi dan wilayah garapannya masing-masing. Organisasi masyarakat sipil ini didorong untuk memiliki kapasitas dan keswadayaan sehingga mampu menciptakan kemandirian baik secara politik, ekonomi, dan sosial di lapisan bawah. Sebagai contoh, NU sebagai organisasi sosial keagamaan dengan ribuan pesantren didorong untuk melaksanakan program yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat melalui pesantren sehingga dapat melahirkan masyarakat yang mandiri secara ekonomi, sosial dan politik.

Kedua, memperkuat kelas menengah muda yang tangguh yang berasal dari kalangan cendikiawan dan profesional muda yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman bisnis dalam lingkup global. Dalam rumusan sejarah demokrasi, justru kelas inilah yang menjadi penggerak dan pioner bagi muncul demokrasi seperti yang terjadi di negara-negara yang demokrasinya mapan. Kendati di Indonesia kelas sosial ini masih terbatas, namun jika didorong sedemikian rupa mereka dapat menjadi kelompok sosial yang mandiri dan memiliki daya tawar yang kuat terhadap negara.

Ketiga, memperkuat dan menumbuhkan organisasi seperti LSM, asosiasi, organisasi profesi, organisasi berbasis warga dan lain-lain, yang dapat menghimpun dan menyuarakan kepentingan masyarakat atau anggotanya. Lembaga-lembaga perantara (mediating structure) ini sangat untuk merumuskan, mengartikulasikan dan menyalurkan kepantingan sosial-ekonomi mereka sebagai organisasi yang tumbuh dari bawah.

Strategi pemberdayaan civil society di atas, diarahkan kepada upaya mewujudkan kapasitas kemandirian yang tinggi, sehingga secara bersama-sama dapat mempertahankan demokrasi. Civil society seperti ini diharapkan menjadi sumber input bagi masyarakat politik (political society), seperti orsospol, birokrasi, dan sebagainya dalam mengambil keputusan publik. Pada saat bersamaan, political society juga dapat melakukan rekruitmen politik dari kelompok-kelompok dalam civil society sehingga kualitas para politisi dan elit politik akan sangat tinggi. Hubungan antara civil society dan political society, sesungguhnya bersifat simbiosis mutualistis atau saling menguntungkan dalam proses menciptakan kepemimpinan politik yang lebih demokratis dan berkualitas. Antara civil society dan political society bukan malah saling menegasikan, bila memang situasi politik telah betul-betul demokrasinya telah terkonsolidasi dengan baik.

Bagi kaum muda, momentum sekarang tentu sangat tepat untuk berkiprah dalam mengembangkan dan memperkuat civil society dalam rangka menciptakan kepemimpinan politik yang berkualitas. Indonesia yang kini memasuki era demokratis menjadi wahana bagi kelompok muda untuk berkiprah dalam rangka pemberdayaan civil society. Sebab peran-peran yang dikemukakan di atas, secara strategis hanya dapat dilakukan oleh kaum muda.

Wallahu ‘alam Bi shawab

Anggota Partai Golkar Akan Kunjungi Tokoh Agama

Kapanlagi.com - Sejumlah anggota Partai Golkar akan mengunjungi para tokoh agama dari organisasi masyarakat keagamaan untuk menjalin silaturrahmi serta mengumpulkan masukan tentang upaya menanggulangi dan memberantas kemiskinan di Indonesia.

Anggota DPR Fraksi Partai Golkar Nusron Wahid, di Jakarta, Senin, mengatakan Golkar sedang berupaya untuk mengoptimalkan upaya pengentasan kemiskinan melalui pendekatan agama. Untuk itu, dibutuhkan masukan dari para tokoh agama mengenai bagaimana menanggulangi dan memberantas kemiskinan dengan pendekatan agama.

"Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk menjaga silaturrahmi. Selain itu juga untuk mendapatkan masukan dari para tokoh agama mengenai strategi menjadikan agama sebagai pilar untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan," katanya.

Menurut Nusron, masukan dari para tokoh agama tersebut nantinya menjadi bahan dalam rapat koordinasi nasional (rakornas) keagamaan DPP Golkar yang dijadwalkan berlangsung pada 3-5 September 2007 dengan tema optimalisasi peran dan fungsi agama untuk menciptakan kesejahteraan dan perdamaian di Indonesia.

"Agama seharusnya memiliki peran sosial. Selama ini peran dan fungsi agama belum dipotimalkan untuk menyelesaikan masalah bangsa yaitu kemiskinan," katanya.

Kunjungan ke para tokoh agama ini akan berlangsung selama dua hari itu yaitu Selasa (28/08) dan Rabu (29/08) dan akan dipimpin oleh Ketua Fraksi Golkar Priyo Budi Santoso.

Para tokoh agama yang akan dikunjungi yaitu dari PP Muhammadiyah, PBNU, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Geraja di Indonesia (PGI), Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin).

Sementara, menurut anggota koordinator wilayah VI Jabar Banten Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily, para tokoh agama tersebut telah diundang untuk menghadiri rakornas keagamaan Golkar.

Dengan diundangnya para tokoh agama tersebut diharapkan akan ada diskusi yang positif mengenai upaya menanggulangi dan memberantas kemiskinan bersama-sama dengan Partai Golkar.

"Para tokoh agama selama ini yang langsung bergerak di masyarakat, mereka pasti telah memiliki konsep bagaimana melakukan interaksi dan sosialisasi di masyarakat," katanya.

Konsep dari masing-masing tokoh agama yang berbeda, katanya, akan dicari titik temu dan kemudian diwujudkan dalam program-program partai Golkar. (*/lpk)

DEMOKRASI DAN TRUST

Memang tidak mudah untuk membangun saling percaya (interpersonal trust) di antara warga. Karena berbicara tentang budaya berarti menyangkut dengan mentalitas yang terkait dengan sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau komunitas. Berarti dengan sendirinya memiliki hubungan dengan aspek bagaimana budaya tersebut diterima dan ditrasmisikan ke dalam struktur berpikir masyarakat dan itu sangat bersifat askriptif. Yakni suatu proses pembelajaran yang didapat sesorang melalui yang 'dipaksa'. Dan ini terkait dengan aspek pendidikan, baik formal maupun informal.

Konsolidasi demokrasi tak hanya bisa dibangun dengan sejumlah perangkat prosedur dan mekanisme pengelolaan kekuasan, seperti sistem hubungan eksekutif-legislatif-yudikatif, sistem pemilihan umum, partai politik dan lain-lain. Tetapi, banyak faktor yang mempengaruhi sejauhmana sebuah negara dapat mengkonsolidasikan demokrasi tersebut.

Salah satu yang amat penting dalam konteks itu adalah adanya kultur demokrasi yang berkembang dalam masyarakat di suatu bernegara. Dalam banyak literatur ilmu politik, seperti yang diungkapkan Roland Inglehart (Trust, well-being and democracy, 1999), bahwa demokrasi tak akan tumbuh dalam sebuah masyarakat yang tidak memiliki kultur demokrasi. Inglehart mempercayai bahwa kultur demokrasi erat kaitannya dengan sikap saling percaya (interpersonal trust) antara warga negara yang diyakini menjadi pendorong yang cukup kuat ke arah demokrasi.

Dalam nada yang sama, Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity mengatakan betapa sangat pentingnya faktor budaya. Secara lebih khusus Fukuyama menyebutkan “the expectation ... of regular, honest, and cooperative behavior, based on commonly shared norms”. Semangat nilai-nilai kultur tersebut akan melahirkan social capital (modal sosial) yang mendorong masyarakat untuk saling bekerjasama dan berasosiasi antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, landasan utamanya adalah sikap saling percaya (trust). Kata Fukuyama “arises from the prevalence of trust in a society”.

Dalam kerangka inilah civic engagement dibutuhkan, bukan hanya sekedar political engagement. Jika yang political engagement menyangkut keterlibatan dan keterkaitan warga negara dengan urusan-urusan politik dan pemerintahan, maka civic engagement menyangkut keterlibatan warga negara di dalam kegiatan-kegiatan sosial secara sukarela dan trust antar sesama warga negara.

***

Pertanyaannya, apakah kultur saling percaya antara warga negara di Indonesia ini telah pudar? Memang tidak ada data-data yang cukup kuat untuk mengindikasikan hal itu. Hasil survey yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta yang dilakukan di 16 Provinsi di Indonesia, misalnya, menunjukan ternyata interpersonal trust di antara warga kita masih amat rendah. 86 persen ( dari 2.017 sample responden) umumnya masyarakat kita merasa harus hati-hati dengan yang lainnya, atau tidak mudah percaya. Ini berarti betapa cukup dominan sikap curiga-mencurigai antar warga masyarakat dalam kehidupan sosial mereka. (Mujani & Jamhari, 2002)

Namun demikian, kesukarelaan (voluntary) masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial ternyata lebih menonjol dalam aktifitas-aktifitas keagamaan. Bahkan mereka mengaku sebagai bagian dari komunitas keagamaan tertentu, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dari sini kita bisa melihat bahwa organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia masih cukup signifikan dan berpengaruh dalam mendorong masyarakat untuk berasosiasi. Dan ini mengindikasikan bahwa masih besarnya keyakinan masyarakat terhadap agama sebagai perekat dalam kehidupan sosial mereka.

Sayangnya, proporsi yang cukup besar dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan lembaga-lembaga agama, ternyata belum cukup bisa membantu memediasi hubungan antar warga untuk membentuk saling percaya dan sikap toleran. Artinya, komunitas-komunitas keagamaan yang merupakan civil society itu belum mampu untuk mentransformasikan nilai-nilai keadaban (civility) seperti, trust, dan toleran, ke dalam sistem perilaku dan sikap pengikutnya seperti yang ditunjukan dalam hasil di atas.

Padahal dalam wacana civil society, yang oleh Nurcholish Madjid disebut sebagai “rumah demokrasi”, sikap berkeadaban yang mensyaratkan sikap saling percaya, fairness, toleran, kesukarelaan, merupakan modal yang penting dan mutlak. Secara normatif, setiap agama manapun selalu mengajarkan sikap toleran dan saling percaya. Dalam nomeklatur Islam, misalnya, sikap saling percaya ini ditunjukan dalam konsep husn adz-dzon (berbaik sangka). Demikian pula dengan sikap toleransi yang ditemukan dalam seluruh agama (dalam Islam: Tasamuh) Banyak dari ayat-ayat suci yang menyebutkan agar setiap agama menganut sikap dan perilaku seperti itu. Tetapi, tentu saja, bukan hanya sekedar konsep normatif belaka.

Sejumlah persoalan yang diakibatkan hilangnya trust dan sikap toleran dalam masyarakat kita ternyata berimplikasi luas terhadap konstruksi budaya secara keseluruhan. Kecurigaan seseorang kepada yang lainnya melahirkan masalah-masalah yang tidak sepele. Lebih jauh lagi wajah dari kehidupan politik pada masa transisi dewasa ini di Indonesia diwarnai dengan wajah kekerasan secara terbuka. Proses demokratisasi dibarengi dengan konflik yang bermuatan kekerasan yang dapat dikatakan cukup merata. Lahirnya konflik antar etnis, persaingan identitas budaya yang tidak fair dan tidak terkelola dengan baik, perlakuan yang diskriminatif terhadap hak-hak minoritas, saya kira memang berangkat dari masyarakat yang tidak memiliki sikap saling percaya dan toleran.

Paradigma berpikir yang sering mengemuka dalam pikiran kita, misalnya selalu menganggap orang yang tidak sama dari segi identitas, baik agama, etnik, pilihan partai politik, kelompok keagamaan, bahkan antar tetangga yang saling berdekatanpun, dianggap sebagai “orang lain” (the other). Sehingga, ketika muncul persoalan-persoalan yang menyangkut dengan kepentingan diri kita manakala berhubungan dengan orang lain selalu disikapi dengan sikap curiga, dan hati-hati. Maka cara berfikir semacam itu akan mengalami kesulitan dan penghambat yang cukup vital bagi terciptanya saling bekerjasama, duduk bersama mendiologkan persoalan yang dihadapinya. Kata Foster dalam Subculture of Peasantry (1967:91), “So deep is the suspicion and mistrust of others, it is difficult for people to believe that no hidden meaning underlies even the most causal act”.

***

Memang tidak mudah untuk membangun saling percaya (interpersonal trust) di antara warga. Karena berbicara tentang budaya berarti menyangkut dengan mentalitas yang terkait dengan sistem pengetahuan yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau komunitas. Berarti dengan sendirinya memiliki hubungan dengan aspek bagaimana budaya tersebut diterima dan ditrasmisikan ke dalam struktur berpikir masyarakat dan itu sangat bersifat askriptif. Yakni suatu proses pembelajaran yang didapat sesorang melalui yang 'dipaksa'. Dan ini terkait dengan aspek pendidikan, baik formal maupun informal.

Menurut Parsudi Suparlan, dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia yang penekanannya adalah pada perbedaan-perbedaan SARA, warganya dilahirkan, dididik, dan dibesarkan dalam suasana yang askriptif dan primordial. Warga masyarakat tersebut juga mengembangkan dan memantapkan chauvinisme dan etnosentrisme, dan memahami serta memperlakukan yang lainnya secara stereotip dan penuh dengan prasangka (prejudice). Inilah pangkal kuat hancurnya sikap trust dan toleransi. Si anak didik sedari awal selalu diajarkan untuk berbangga dengan sukunya, agamanya bahkan keluarganya (familism). Anak didik tidak dibiarkan untuk membuka cakrawala pikirannya dengan diberikan alternatif-alternatif pemikiran yang pluralis, bukan curiosity tapi doktrin-doktrin yang askriptif.

Tetapi kita masih menyisakan sejumlah optimisme. Seperti hasil survey PPIM IAIN Jakarta yang menyebutkan bahwa masyarakat masih mempercayai bahwa agama sebagai unsur perekat dalam berasosiasi, sesungguhnya merupakan modal yang cukup signifikan untuk melakukan transformasi nilai saling percaya dan toleran. Namun demikian, semestinya organisasi-organisasi keagamaan seperti NU dan Muhamadiyah, begitu juga dengan LSM atau asosiasi lainnya, melakukan proses internalisasi nilai kepada para basis konstituennya dengan paradigma trust dan plural dengan bingkai kebangsaan. Penyataan bersama NU dan Muhammadiyah dan Deklarasi Malino beberapa pekan lalu, saya kira, merupakan pembelajaran sekaligus sikap moral yang luar biasa bagi meminimalisir sikap prejudice, syakwasangka, kecurigaan dan sikap komunialisme yang berlebihan antar warga negara.

Wallahu ‘alm Bi Shawab