Thursday, May 19, 2011

Hati-hati Lingkungan Sekitar Rumah, Terorisme Mengintai!!

Harian Kompas, Rabu 27 Apr 2011

JAKARTA, KOMPAS---- Perkembangan ideologi terorisme atas nama agama saat ini bisa menyusupi siapa saja, bahkan orang-orang yang sebenarnya punya bekal pendidikan agama yang cukup. Karena itu, masyarakat diminta lebih mewaspadai kemungkinan perkembangan paham ekstrem itu pada teman atau keluarga.

Harapan tersebut dikemukakan mantan Presiden Mahasiswa IAIN (sekarang Universitas Islam Negeri) Jakarta Ace Hasan Syadzily dan Direktur Program Yayasan Paras Nanang Haroni di Jakarta, Senin (25/4). Keduanya pernah berteman baik dengan Pepi Fernando, tersangka dalang bom di dekat Gereja Christ Cathedral, Serpong, dan sejumlah bom buku di Jakarta. Pepi ditangkap kepolisian di Aceh beberapa waktu lalu.

Pepi merupakan sarjana Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta, lulusan tahun 2002. Kabar bahwa dia menjadi salah satu dari 19 tersangka jaringan pelaku bom yang ditangkap polisi membuat teman-temannya kaget. Soalnya, saat mahasiswa, pemuda itu tak dikenal sebagai anggota kelompok garis keras.

Ace Hasan Syadzily pernah tinggal satu indekos dengan Pepi selama dua tahun di kawasan Ciputat, di dekat kampus IAIN. Saat itu Pepi bukan termasuk aktivis mahasiswa atau kelompok studi yang tekun mendiskusikan soal agama. ”Dia itu mahasiswa slengean, suka pakai celana jeans, berkaus oblong, berambut agak panjang. Jauh dari kesan aktivis Islam garis keras,” katanya.

Setelah lama tidak bertemu, Ace mendengar bahwa pemahaman keislaman Pepi berubah. Itu terjadi setelah dia membuat film dokumenter tentang tsunami di Aceh dan bergaul dengan kelompok garis keras di Aceh. Beberapa hari lalu dikabarkan dia ditangkap sebagai tersangka teroris. ”Itu sangat mengagetkan,” ujar Ace.

Nanang Haroni mengenal dekat Pepi saat yang bersangkutan menjadi reporter Non-Stop dan kemudian Production House Otista. Kebetulan saat itu Nanang menjadi redaktur pada dua media tersebut. Nanang sempat jadi wakil keluarga saat Pepi menikah di Bekasi.

Setelah tinggal di Aceh, Pepi memang berubah. ”Tahun 2007 saya pernah berdiskusi semalaman dengan dia. Cara dia memahami Islam menjadi sangat keras, mirip kelompok Negara Islam Indonesia (NII). Sulit mengubah pikirannya menjadi lebih moderat,” tutur Nanang.

Belajar dari kasus Pepi yang menjadi tersangka teroris, Ace dan Nanang mengungkapkan, ideologi Islam ekstrem bisa menyelusup ke semua kalangan.(Juf/Kcm)

Wednesday, May 18, 2011

Jaminan Sosial untuk Semua

Tb Ace Hasan Syadzily
Kandidat Doktor Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran Bandung, Ketua Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor

Perdebatan tentang RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan isu yang menarik untuk dibahas. Pada hari Buruh Internasional 1 Mei 2011, sistem jaminan sosial merupakan isu yang dituntut oleh para buruh. Di DPR, pembahasan tentang RUU BPJS menjadi agenda legislasi nasional yang masih tarik-menarik pembahasannya dengan pemerintah.

Secara ideal, jaminan sosial ini merupakan salah satu perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Jenis program jaminan sosial ini meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan jaminan sosial bagi masyarakat.

Kalau kita lihat konstitusi, sistem jaminan sosial nasional merupakan amanat yang harus dipenuhi negara. Dalam UUD 1945 Pasal 28 ayat (3) disebutkan, "Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat." Pasal 34 ayat (2) menyebutkan, "Negara mengembangkan sistem atas jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan." Jaminan sosial ini diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2004.

Dengan demikian, penerima manfaat dari jaminan sosial ini bukan hanya para pekerja atau buruh, pegawai negeri, tentara, polisi dan pejabat, melainkan juga seluruh rakyat Indonesia, terutama kalangan yang tidak mampu. Justru yang seharusnya mendapatkan prioritas utama dalam jaminan sosial ini yang menurut konstitusi kita adalah "masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan".

Jaminan sosial di Indonesia
Di Indonesia, penyelenggaraan sistem jaminan sosial saat ini belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Sistem jaminan sosial kita baru menerapkan mekanisme asuransi sosial dengan kepesertaannya menjangkau segmentasi masyarakat tertentu, yaitu pekerja formal (buruh) yang disediakan PT Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), pegawai negeri sipil oleh PT Askes (Asuransi Kesehatan Indonesia) yang cakupan perlindungannya meliputi jaminan atau asuransi kesehatan dan jaminan pensiun oleh PT Taspen (Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri), dan TNI yang dikelola PT Asabari (Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang yang cakupan perlindungannya meliputi jaminan pensiun dan kesehatan.

Sementara itu, untuk program bantuan sosial, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan program-program, di antaranya bantuan tunai langsung (BLT), bantuan sosial, bencana dan terakhir program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), sebuah program asuransi kesehatan yang dibiayai negara dan diperuntukkan bagi masyarakat yang tidak mampu. Namun, penyelenggaraan bantuan sosial ini belum memiliki payung hukum dan sistem kelembagaan yang kuat dan integral dalam penyelenggaraannya. Ditambah lagi program bantuan sosial ini tidak secara khusus diatur dalam UU Nomor 40 tahun 2004 dan belum memiliki aturan perudang-undangan.

Dua model penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia ini belum sepenuhnya maksimal untuk menjamin bagi terpenuhinya hak-hak dasar warga negara. Sistem jaminan sosial yang jelas-jelas telah memiliki aturan hukum saja belum sepenuhnya optimal seperti para pekerja (buruh), apalagi rakyat miskin yang bekerja di sektor informal. Sebagai contoh, kalangan pekerja di sektor formal hanya menjamin keanggotaan sebanyak 8,5 juta buruh peserta aktif, padahal jumlah pekerja (buruh) yang bekerja di sektor formal berjumlah 29 juta. Berarti hanya 30 persen yang hanya terjangkau oleh jaminan asuransi sosial (Republika, 10/5/2011).

Bandingkan dengan negara-negara tetangga kita. Secara persentase, kepesertaan asuransi sosial di sektor formal, 90 persen para pekerja telah menjadi peserta asuransi sosial. Di Malaysia, lembaga jaminan sosial Employee Provident Fund (EPF) telah menanggung sebanyak 12,5 juta pekerja, Singapura dengan institusi Central Provident Fund (CPF) terdiri dari 116 ribu pengusaha dan 1,8 juta pekerja, Thailand dengan lembaga jaminan Social Security Office (SSO)-nya terdiri dari 391.869 pengusaha dan 9,45 juta pekerja, dan Filipina dengan program Social Security Scheme (SSS) menanggung peserta sebanyak 8,9 juta tenaga kerja.

Dalam kaitan dengan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang menjadi pembahasan antara pemerintah dan DPR, perdebatannya menyangkut aspek kelembagaan. Rancangan RUU BPJS yang diinisiasi DPR disebutkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan dilebur (merger) menjadi satu dan bersifat tunggal. Dalam RUU BPJS tersebut, disebutkan bahwa penyelengaraan jaminan sosial baik asuransi sosial maupun bantuan sosial diselenggarakan oleh lembaga tunggal, sementara pemerintah mengusulkan agar BPJS dikelola dua badan atau multipayer, yaitu satu badan tersendiri yang mengatur masalah jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, dan jaminan kematian, sementara badan yang kedua mengelola pensiun dan hari tua. Penyatuan pengelola jaminan sosial dalam wadah tunggal (single payer) memang memiliki kelebihan, antara lain, semua masyarakat mendapatkan jaminan sosial, adanya koordinasi program jaminan sosial dalam satu atap, dana yang terkumpul lebih banyak, dan biaya operasional lebih efesien.

Namun, yang harus dikaji secara saksama BPJS tunggal adalah karakteristik di masing-masing sektor tenaga kerja (pegawai negeri sipil, swasta, informal, dan tenaga kerja migran) dan penduduk sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Selain itu, kompleksitas antara satu program dan program yang lainnya sangat berbeda sehingga dikhawatirkan dapat berdampak pada pengelolaan program yang tidak optimal. Sebagai contoh, program bantuan sosial dan asuransi sosial memiliki karakteristik tersendiri baik dari segi desain program, sumber pembiayaan, maupun pengelolaannya.

Selain itu, saya kira yang lebih penting diperdebatkan adalah menyangkut implementasi jaminan sosial bagi rakyat miskin dan tidak mampu yang bekerja di sektor informal seperti petani dan nelayan, terutama jaminan kesehatan. Tema yang perlu dikaji lebih jauh adalah bagaimana masyarakat kita dijamin dan secepatnya universal coverage (cakupan menyeluruh) tersebut dapat tercapai?

Dalam implementasinya, jaminan sosial yang merata harus mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, masalah politis. Apakah komitmen politik dan kepentingan politis serta konsensus politis antarberbagai pihak pemangku kepentingan sudah dicapai. Kedua, kemampuan fiskal negara dan ekonomi kita sudah cukup dapat memenuhi pembiayaan dari negara.

Sebagai contoh, di banyak negara, program jaminan sosial dimulai dan dapat terselenggara dengan pendapatan per kapita lebih dari 2.000 dolar AS. Jerman memulai program asuransi kesehatan sosial saat pendapatan per kapita 2.237 dolar AS, Austria 2.420 dolar AS, dan Jepang 2.140 dolar AS. Pendapatan per kapita saat ini mulai menginjak 3.000 dolar AS. Ini artinya bahwa kita sudah siap secara ekonomi.

Ketiga, faktor teknis. Berapa sebenarnya biaya yang dibutuhkan untuk program jaminan kesehatan yang dijadikan sebagai acuan standar? Korea Selatan dua tahun sebelum mewajibkan program jaminan kesehatan, distribusi populasi di perkotaan sekitar 50 persen. Masyarakat kita lebih dari 60 persen pertanian dan pedesaan, bagaimana akan menarik iuran sistem jaminan?
Wallahu ‘alam bi showab.

Republika, Jumat 13 Mei 2011