Thursday, October 23, 2008

Tb Ace Hasan Syadzily: Santri yang Merakyat

Jiwa berorganisasi yang kuat dalam diri Tb Ace Hasan Syadzily akhirnya menuntun pria kelahiran Labuan, Pandeglang, Banten, 19 September 1976, ini masuk dalam kancah perpolitikan nasional. Apalagi segudang pengalamannya di sejumlah organisasi kemahasiswaan dan LSM semakin menambah keyakinan bahwa politik adalah jalan hidupnya.

"Adanya kepercayaan yang diberikan kepada generasi muda, menunjukkan bahwa Partai Golkar memiliki komitmen terhadap regenerasi dan sirkulasi kepemimpinan politik," kata politisi muda yang berjiwa santri ini tentang motivasinya bergabung dengan partai politik.

Atas dasar itulah, lulusan Pascasarjana (S-2) pada program Ilmu Antropologi (FISIP UI) ini berniat ikut berpartisipasi untuk menyejahterakan masyarakat Banten dengan menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari daerah pemilihan (dapil) Banten I pada Pemilu 2009.

"Kalau tanpa dukungan dan restu masyarakat Banten, terutama para ulama, kiai, dan tokoh masyarakat, niat saya untuk mengemban amanat rakyat, saya kira tidak akan punya arti apa-apa. Sebab, saat ini kekuasaan ada di tangan rakyat" kata mantan Presiden BEM IAIN Syarif Hidayatullah (1998) yang pernah juga diundang oleh Deplu AS untuk mengikuti Dialogue Project and Exchange Program for Youth Islamic Leaders, sebuah program pertukaran para pemimpin muda Islam yang difasilitasi Ohio University, Attens, AS.

Anggota Pokja Hubungan Luar Negeri dan Pertahanan Keamanan DPP Partai Golkar ini bertekad bersama masyarakat Banten meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan program pemberdayaan ekonomi rakyat dengan fokus di bidang pertanian yang modern dan berbasis rakyat serta meningkatkan sumber daya manusia dengan fokus pada dunia pendidikan, terutama pendidikan umat. Untuk merealisasikan dua misi utama tersebut, ia menilai diperlukan dukungan politik dari berbagai pihak. (M Kardeni)

Suara Karya. Rabu, 24 September 2008

Artis, Tokoh Lokal, atau Wajah Lama di Banten I

DI daerah pemilihan Banten I, 38 parpol peserta pemilu memperebutkan sekitar 1,5 juta suara pemilih yang tersebar di Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang untuk 6 kursi DPR.

Daerah pemilihan Banten I menjadi arena pertarungan sejumlah artis, tokoh intelektual, dan tokoh lokal yang diajukan sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR oleh partai politik.

Ada perbedaan daerah pemilihan bila dibandingkan dengan Pemilu 2004. Pada waktu itu, Provinsi Banten terbagi menjadi dua daerah pemilihan. Banten 1 yang meliputi Serang, Pandeglang, dan Lebak memperebutkan 11 kursi. Sedangkan pada Pemilu 2009, Banten terbagi menjadi tiga daerah pemilihan.

PDI Perjuangan mengandalkan pelawak TB Dedi Suwandi Gumelar atau yang akrab dipanggil Miing di nomor urut 1. Sosok artis juga dijagokan Partai Amanat Nasional (PAN) yang mengajukan penyanyi Ahmad Zulfikar Fawzi yang lebih dikenal dengan nama Ikang Fawzi di nomor urut 1. Partai Demokrat menempatkan artis sinetron Jane Shalimar di nomor urut 6.

Penempatan artis tidak diikuti Partai Golkar di daerah itu. Partai berlambang beringin itu menjagokan tokoh lokal dan tokoh intelektual sebagai caleg. Di daerah tersebut, Golkar mengusung Ketua DPD Golkar Provinsi Banten Mamat Rahayu Abdullah di nomor urut 1. Mamat sudah teruji pada Pemilu 2004 dengan berhasil menjadi anggota DPR dari daerah Banten 1. Golkar juga mengajukan Ketua DPD Golkar Kabupaten Lebak Herry Djuhaeri sebagai caleg nomor urut 4.

Selain tokoh lokal, Golkar juga mengajukan peneliti Indonesian Institute for Civil Society (Incis) Tubagus Ace Hasan Syadzily sebagai tokoh intelektual dengan nomor urut 2.

Staf ahli Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Entjeng Shobirin maju sebagai caleg dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan nomor urut 2. Partai berlambang Kabah itu juga menjagokan Bupati Pandeglang Achmad Dimyati Natakusuma di nomor urut 6.

Sejumlah wajah lama yang sudah menjadi anggota DPR juga masih diajukan sebagai caleg dari daerah pemilihan itu.

Ikang Fawzi berkeyakinan bisa meraup suara signifikan. Sebab, ia sudah berkeliling ke daerah untuk menghibur masyarakat. "Saya mendatangi masyarakat ke desa-desa sambil menghibur dengan gitar. Rakyat kan sudah susah, jadi mereka harus dihibur. Ini bentuk kepedulian saya kepada masyarakat sebagai artis, politisi, sekaligus putra daerah," katanya di Jakarta, kemarin.

Ikang juga sudah melakukan kalkulasi politik dan mempelajari peta politik di Banten I. "Setiap parpol punya pemikiran dan strategi. Saya putra daerah nomor 1 dari PAN. Saudara saya di sana banyak. Saya melakukan pola yang berbeda dengan parpol lain. Saya memperkuat hubungan interpersonal," katanya.

Sedangkan mengenai kehadiran Miing, menurut dia, tidak masalah. "Saya akan bertarung dengan artis lain di sana seperti Mas Miing. Tapi kami akan bertarung sehat, karena selama ini sesama artis memiliki hubungan baik," katanya.

Wakil Sekjen DPP Partai Golkar Rully Chairul Azwar menjelaskan partainya lebih memilih kader dan intelektual sebagai caleg di Banten I. Menurutnya, Golkar sudah cukup dikenal, jadi tidak perlu menggunakan figur terkenal seperti artis.
"Kalau mengambil figur dari luar, berarti partai gagal melakukan kaderisasi. Kami yakin mempertahankan bahkan menambah perolehan kursi dengan menempatkan kader senior yang memiliki kedekatan dengan Banten I seperti Mamat Rahayu," katanya.
Sementara itu, Entjeng Shobirin mengaku tidak terlalu ngotot dalam berkampanye. Pasalnya, PPP tidak menerapkan sistem pemeringkatan perolehan suara dalam penentuan caleg terpilih.

"Karena masih pakai sistem nomor urut, tidak usah ngoyo karena nomor urut teratas yang menikmati. Kalau sistem suara terbanyak, orang harus bekerja keras untuk menguji akseptabilitas dirinya di masyarakat," katanya.(P-1)

Rabu, 15 Oktober 2008. Media Indonesia
Penulis Kennorton Hutasoit

SUARA TERBANYAK DAN KETERWAKILAN RAKYAT

Kebijakan suara terbanyak dalam pemilihan umum (Pemilu) legislatif 2009 secara resmi diterapkan oleh 3 partai politik, yaitu Partai Golongan Karya (Partai Golkar), Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN). Kebijakan ini tentu dipahami dan ditanggapi secara beragam, baik oleh internal ketiga partai tersebut maupun kalangan eksternal partai.

Dari sisi legal, kebijakan ini memang memiliki sisi kelemahan karena UU tentang Pemilu No 10 tahun 2008 secara tegas menyebutkan bahwa calon legislatif akan mendapatkan kursi jika mendapatkan suara sekurang-kurangnya 30 % dari jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP). Pasal 214 ayat (a) menyatakan “calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP”.

Untuk menutupi titik kelemahan tersebut, masing-masing partai telah mensiasatinya dengan kebijakan internal. Misalnya, Partai Golkar menerapkan aturan bahwa semua Calon Anggota Legislatif harus menandatangani surat kesediaan pengunduran diri jika Caleg tidak memperoleh suara terbanyak sekalipun berada pada nomor urut paling atas. Apabila tidak bersedia, maka yang bersangkutan tidak boleh dicalon oleh partai. Secara legalitas, menurut Ketua Umum DPP Partai GOLKAR, HM Jusuf Kalla, kebijakan tersebut tidaklah menyalahi ketentuan yang berlaku. Kebijakan tersebut telah dikonsultasikan dengan KPU Pusat.

Saya tidak ingin berpolemik pada aspek hukum, karena DPP Partai Golkar sudah mempertimbangkan secara matang-matang aspek legalitasnya. Hal ini semakin diperkuat dalam hasil Rapimnas 2008 pekan lalu. Saya ingin mengurai lebih jauh relevansi suara terbanyak dalam kerangka membangun demokrasi yang lebih berkualitas di Indonesia.

Demokrasi melalui pemilihan umum, sejatinya merupakan mekanisme untuk mecari pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang bertanggungjawab (accountable), memiliki akar yang kuat dan dekat dengan rakyat. Rakyat sesungguhnya menjadi menjadi subyek yang utama dalam menentukan para wakilnya. Kerena itu, rakyat harus mengetahui lebih komprehensif tentang orang-orang yang akan memperjuangkan aspirasinya di parlemen di berbagai tingkatan. Masyarakat harus tahu secara mendalam track record, latar belakang, kemampuan dan kapasitas para wakilnya nanti. Rakyat tidak diberikan suguhan seperti ”kucing dalam karung”, demikian kata peribahasa.

Dengan demikian, para calon anggota legislatif dituntut untuk lebih banyak turun mengunjungi rakyat, berdialog secara intensif, mendengarkan keluhan dan harapan rakyat serta menawarkan program-program yang ditawarkan baik program Partai maupun program individu yang ingin direalisasikan di daerah tersebut untuk mencari dukungan dari masyarakat pemilih. Dengan begitu, para calon wakil rakyat lebih memiliki pertanggungjawaban publik.

Bagi partai politik, kebijakan ini tentu akan menggerakkan semua kadernya untuk memiliki harapan (hope) mendapatkan ”kursi” tanpa melihat nomor urut. Nomor ”urut paling bawah” memiliki keberpeluangan (probability) yang sama dengan nomor ”urut paling atas”. Pengalaman beberapa pemilu yang lalu, nomor urut paling atas merasa ”di atas angin” sehingga terdorong untuk tidak bekerja secara maksimal untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Demikian pula dengan nomor urut paling bawah, jika menerapkan nomor urut, akan bekerja tidak maksimal pula karena dianggap sebagai ”caleg pelengkap penderita” sehingga tidak punya harapan untuk mendapatkan kursi.

Ada kritik yang disampaikan bahwa dengan suara terbanyak memungkinkan bagi tokoh-tokoh populis, seperti artis, akan lebih berpeluang menang. Tentu asumsi itu bisa jadi salah karena menganggap masyarakat kita masih melihat hanya an sich aspek popularitas. Masyarakat sesungguhnya memiliki preferensi sendiri untuk menentukan pilihannya. Masyarakat kita sudah memiliki kecerdasan dan rasionalitas untuk memilih mana yang terbaik untuk menjadi wakilnya di parlemen. Dengan model ini pula partai politik dituntut untuk menawarkan calon-calon yang terbaik. Calon legislatif yang memiliki integritas, kapabilitas, kapasitas dan dekat dengan rakyat.

Dibalik kebijakan ini, secara diam-diam, oligarki elit partai politik akan mengalami degradasi. Pengurus partai tidak lagi memiliki privalge dibandingkan dengan kader partai lainnya. Partai politik dituntut, melalui kadernya, untuk lebih bekerja keras dan lebih dekat dengan rakyat. Disamping itu, tidak ada lagi keistimewaan bagi nomor paling atas untuk memberikan ”setoran” paling besar kepada (pimpinan) partai politik seperti praktek yang terjadi selama ini. Semua potensi yang dimiliki kader partai akan didayagunakan untuk pemenangan dirinya.

Pada masa yang akan datang, kebijakan ini sedikit banyak akan mempengaruhi sistem kehidupan kepartaian di Indonesia. Partai politik dituntut untuk melakukan pembenahan rekruitmen kader yang berkualitas dan mengakar di masyarakat. Partai tidak akan sembarangan menawarkan calon-calon anggota legislatif yang tidak memiliki akseptabilitas. Bagi anggota legislatif yang akan terpilih nanti tidak akan semena-mena meninggalkan konstituennya dan melupakan orang yang telah memilihnya. Kalau anggota DPR/DPRD nanti melupakan daerah pemilihan, ia bagaikan ”kacang lupa dengan kulitnya” dan jika ingin mencalonkan kembali, maka ia tidak akan dipilih lagi oleh rakyat.

Kita berharap kualitas demokrasi di Indonesia mengarah pada demokrasi lebih substantif, bukan sekedar prosedural. Pemilihan umum yang disertai mekanisme suara terbanyak lebih menjamin untuk menghasilkan wakil-wakil rakyat yang lebih amanah, dekat dengan rakyat dan dapat memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan wakil rakyat yang sama sekali tidak mengetahui daerah yang diwakilinya. Wallahu ’alam bi shawab.

Friday, October 17, 2008

Rapimnas dan Capres Partai GOLKAR

Partai Golkar menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) tanggal 17-19 Oktober 2008. Beberapa agenda penting dibahas dalam hajatan tahunan Partai GOLKAR ini, diantaranya konsolidasi internal organisasi untuk memantapkan mesin partai menjelang Pemilu 2009, strategi pemenangan Pemilu, pernyataan politik partai menanggapi kondisi politik nasional 2008, dan silaturahmi petinggi partai se-Indonesia.

Rapimnas kali ini banyak menjadi sorotan publik. Bukan saja kader Partai Golkar, tetapi seluruh publik politik di Indonesia. Wajar jika Rapimnas ini menjadi sorotan publik. Sebagai partai besar di Indonesia, Golkar memiliki pengaruh bagi perjalanan kehidupan politik di Indonesia, apalagi menjelang pesta demokrasi 2009 nanti.

Yang paling menjadi sorotan masyarakat adalah masalah calon presiden dan wakil presiden dari Partai Golkar. Secara resmi, seperti diberitakan diberbagai media, pembahasan Capres & Cawapres dalam Rapimnas ini memang tidak menjadi salah satu pembahasan. Sekalipun polemik di media massa tentang siapa calon-calon Presiden dari partai Golkar menjadi perdebatan serius.

Menanggapi isu Capres dari Partai Golkar yang menghangatkan Rapimnas ini, di kalangan internal partai ditanggapi secara berbeda. Pertama, kalangan yang menginginkan agar Golkar membicarakannya dalam forum tahunan ini. Sekalipun tidak menyebut nama-nama Capres, mereka berpendapat bahwa mekanisme rekruitmen Capres dan Cawapres seperti Konvensi 2004 yang lalu pada masa kepemipinan Akbar Tanjung seharusnya dibahas. Alasannya sederhana, penentapan Capres & Cawapres harus ditentukan sesegara mungkin seiring dengan semakin dekatnya Pemilu 2009. Partai Golkar lebih leluasa untuk mensosialisasikannya kepada masyarakat bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif pada bulan April 2009 nanti.

Hal ini terlihat dari manuver beberapa kader Partai Golkar yang menggelindingkan Capres dari Golkar dikemukakan oleh Fadel Muhammad, Ketua DPD Golkar Gorontalo, Yuddy Chrisnandy, Fungsionaris DPP Partai Golkar, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan ormas pendiri Golkar yaitu SOKSI menyebut nama Sultan Hamengkubowono X, MKGR menawarkan beberapa nama antara lain SBY, Jusuf Kalla, Agung Laksono, Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Priyo Budi Santoso, dan Ormas Panca Karya yang didirikan (MDI, AMPI, Alhidayah, Satkar Ulama, HWK) menyodorkan nama Jusuf Kalla, Agung Laksono, Sultan Hamengkubowono X, Ginandjar Kartasasmita, dan Aburizal Bakrie.

Tentu keinginan dari para tokoh Partai Golkar dan Ormas pendukung Partai Golkar dengan mewacanakan nama-nama capres ini harus diapresiasi secara positif. Betapa tidak, sebagai partai besar, Golkar seharusnya mampu mempersiapkan kader terbaiknya untuk memimpin bangsa ini.

Kedua, elit Partai Golkar yang lain memandang bahwa penetapan Capres dan Cawapres Partai Golkar harus dikalkulasi secara matang-matang. Penetapan Capres dan Cawapres Partai Golkar harus juga mempertimbangkan seberapa besar kekuatan partai yang ditentukan oleh pemilu DPR/DPRD April 2009. Karena itu mereka berpendapat bahwa penetapan Capres dan Cawapres Partai Golkar ditentukan setelah pemilu legislatif dengan melihat seberapa besar kekuatan Partai Golkar dalam pemilu legislatif nanti.

Disamping itu, kalangan ini berpendapat bahwa Golkar jangan sampai keliru, bahkan salah pilih, dalam menentukan Capres dan Cawapres karena tergesa-gesa memilihnya. Bukankah dinamika politik di negeri ini selalu mengalami perubahan secara cepat? Jangan sampai dari sejak awal sudah menentukan Capres dan Cawapres, padahal kurang mendapat dukungan dari masyarakat.

Memang menentukan Capres dan Cawapres dari Partai Golkar bukan persolan yang mudah. Kebesaran partai politik belum tentu seiring dengan kebesaran figur-figur kader partai yang dimilikinya. Harus diakui, sekalipun terdapat banyak kader Partai Golkar yang mumpuni dan layak untuk memimpin bangsa ini, namun hal itu tidak dibarengi oleh dukungan penuh rakyat Indonesia. Lihat saja misalnya pengalaman Pilpres 2004 dimana Partai Golkar yang mengusung Wiranto-Gus Solah sebagai Capres-Cawapres ternyata mengalami kekalahan. Padahal secara matematis, sebagai partai pemenang pemilu 2004, Partai Golkar seharusnya mampu memenangkan Pilpres 2004.

Sebagai partai yang memiliki sistem yang telah mapan, alangkah lebih baiknya jika partai ini membuat mekanisme rekruitmen Capres dan Cawapres. Golkar sesungguhnya telah memiliki model yang baik seperti dalam mekanisme rekruitmen calon kepala daerah. Kita telah memiliki cara untuk mengukur seberapa besar kekuatan figur diterima atau tidak oleh rakyat melalui metode survei yang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan. Jika memang dalam survei tersebut, ternyata terdapat kader Partai Golkar yang layak dan mampu untuk bertanding dalam Pilpres 2009, maka kenapa Golkar menetapkan sebagai calon Presiden.

Namun, jika dalam survei tersebut kader Partai Golkar memiliki akseptabilitas dan elektabiltasnya rendah untuk menjadi capres, sudah seharusnya partai Golkar dengan legowo membidik wakil presiden. Saya teringat akan kaidah “Ma La Yudraku kulluhu La Yutraku kulluhu” (Jika kita tidak dapat mendapatkan semuanya, jangan ditinggalkan semuanya). Kalau tidak bisa mendapatkan RI-1, ya kenapa tidak RI-2. Bukankah politik adalah seni untuk meraih kekuasaan? Kalau tidak mampu untuk mendapatkan kekuasaan RI-1, kenapa tidak Golkar legowo mendapatkan kekuasaan RI-2? Yang terpenting adalah kekuasaan tersebut dipergunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat (li mashaalihul ibaad). Semoga Rapimnas Golkar menghasilkan manfaat bagi kebesaran partai dan rakyat Indonesia. Wallahu ’alam bi shawab.