Thursday, October 23, 2008

SUARA TERBANYAK DAN KETERWAKILAN RAKYAT

Kebijakan suara terbanyak dalam pemilihan umum (Pemilu) legislatif 2009 secara resmi diterapkan oleh 3 partai politik, yaitu Partai Golongan Karya (Partai Golkar), Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN). Kebijakan ini tentu dipahami dan ditanggapi secara beragam, baik oleh internal ketiga partai tersebut maupun kalangan eksternal partai.

Dari sisi legal, kebijakan ini memang memiliki sisi kelemahan karena UU tentang Pemilu No 10 tahun 2008 secara tegas menyebutkan bahwa calon legislatif akan mendapatkan kursi jika mendapatkan suara sekurang-kurangnya 30 % dari jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP). Pasal 214 ayat (a) menyatakan “calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP”.

Untuk menutupi titik kelemahan tersebut, masing-masing partai telah mensiasatinya dengan kebijakan internal. Misalnya, Partai Golkar menerapkan aturan bahwa semua Calon Anggota Legislatif harus menandatangani surat kesediaan pengunduran diri jika Caleg tidak memperoleh suara terbanyak sekalipun berada pada nomor urut paling atas. Apabila tidak bersedia, maka yang bersangkutan tidak boleh dicalon oleh partai. Secara legalitas, menurut Ketua Umum DPP Partai GOLKAR, HM Jusuf Kalla, kebijakan tersebut tidaklah menyalahi ketentuan yang berlaku. Kebijakan tersebut telah dikonsultasikan dengan KPU Pusat.

Saya tidak ingin berpolemik pada aspek hukum, karena DPP Partai Golkar sudah mempertimbangkan secara matang-matang aspek legalitasnya. Hal ini semakin diperkuat dalam hasil Rapimnas 2008 pekan lalu. Saya ingin mengurai lebih jauh relevansi suara terbanyak dalam kerangka membangun demokrasi yang lebih berkualitas di Indonesia.

Demokrasi melalui pemilihan umum, sejatinya merupakan mekanisme untuk mecari pemimpin dan wakil-wakil rakyat yang bertanggungjawab (accountable), memiliki akar yang kuat dan dekat dengan rakyat. Rakyat sesungguhnya menjadi menjadi subyek yang utama dalam menentukan para wakilnya. Kerena itu, rakyat harus mengetahui lebih komprehensif tentang orang-orang yang akan memperjuangkan aspirasinya di parlemen di berbagai tingkatan. Masyarakat harus tahu secara mendalam track record, latar belakang, kemampuan dan kapasitas para wakilnya nanti. Rakyat tidak diberikan suguhan seperti ”kucing dalam karung”, demikian kata peribahasa.

Dengan demikian, para calon anggota legislatif dituntut untuk lebih banyak turun mengunjungi rakyat, berdialog secara intensif, mendengarkan keluhan dan harapan rakyat serta menawarkan program-program yang ditawarkan baik program Partai maupun program individu yang ingin direalisasikan di daerah tersebut untuk mencari dukungan dari masyarakat pemilih. Dengan begitu, para calon wakil rakyat lebih memiliki pertanggungjawaban publik.

Bagi partai politik, kebijakan ini tentu akan menggerakkan semua kadernya untuk memiliki harapan (hope) mendapatkan ”kursi” tanpa melihat nomor urut. Nomor ”urut paling bawah” memiliki keberpeluangan (probability) yang sama dengan nomor ”urut paling atas”. Pengalaman beberapa pemilu yang lalu, nomor urut paling atas merasa ”di atas angin” sehingga terdorong untuk tidak bekerja secara maksimal untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat. Demikian pula dengan nomor urut paling bawah, jika menerapkan nomor urut, akan bekerja tidak maksimal pula karena dianggap sebagai ”caleg pelengkap penderita” sehingga tidak punya harapan untuk mendapatkan kursi.

Ada kritik yang disampaikan bahwa dengan suara terbanyak memungkinkan bagi tokoh-tokoh populis, seperti artis, akan lebih berpeluang menang. Tentu asumsi itu bisa jadi salah karena menganggap masyarakat kita masih melihat hanya an sich aspek popularitas. Masyarakat sesungguhnya memiliki preferensi sendiri untuk menentukan pilihannya. Masyarakat kita sudah memiliki kecerdasan dan rasionalitas untuk memilih mana yang terbaik untuk menjadi wakilnya di parlemen. Dengan model ini pula partai politik dituntut untuk menawarkan calon-calon yang terbaik. Calon legislatif yang memiliki integritas, kapabilitas, kapasitas dan dekat dengan rakyat.

Dibalik kebijakan ini, secara diam-diam, oligarki elit partai politik akan mengalami degradasi. Pengurus partai tidak lagi memiliki privalge dibandingkan dengan kader partai lainnya. Partai politik dituntut, melalui kadernya, untuk lebih bekerja keras dan lebih dekat dengan rakyat. Disamping itu, tidak ada lagi keistimewaan bagi nomor paling atas untuk memberikan ”setoran” paling besar kepada (pimpinan) partai politik seperti praktek yang terjadi selama ini. Semua potensi yang dimiliki kader partai akan didayagunakan untuk pemenangan dirinya.

Pada masa yang akan datang, kebijakan ini sedikit banyak akan mempengaruhi sistem kehidupan kepartaian di Indonesia. Partai politik dituntut untuk melakukan pembenahan rekruitmen kader yang berkualitas dan mengakar di masyarakat. Partai tidak akan sembarangan menawarkan calon-calon anggota legislatif yang tidak memiliki akseptabilitas. Bagi anggota legislatif yang akan terpilih nanti tidak akan semena-mena meninggalkan konstituennya dan melupakan orang yang telah memilihnya. Kalau anggota DPR/DPRD nanti melupakan daerah pemilihan, ia bagaikan ”kacang lupa dengan kulitnya” dan jika ingin mencalonkan kembali, maka ia tidak akan dipilih lagi oleh rakyat.

Kita berharap kualitas demokrasi di Indonesia mengarah pada demokrasi lebih substantif, bukan sekedar prosedural. Pemilihan umum yang disertai mekanisme suara terbanyak lebih menjamin untuk menghasilkan wakil-wakil rakyat yang lebih amanah, dekat dengan rakyat dan dapat memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan wakil rakyat yang sama sekali tidak mengetahui daerah yang diwakilinya. Wallahu ’alam bi shawab.

No comments: